Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Manusia itu Budi Pekerti

Redaksi
×

Manusia itu Budi Pekerti

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Seorang karib, Selasa pagi 8 Desember 2020, mengajak ziarah ke Pati. Persisnya ke makam Pak Muh (Muhammad Zuhri) di kompleks makam Syekh Ronggo, Ngemplak. Dan, jadilah. Kami meluncur ke kota mina tani itu, pesisir utara Jawa.

Usai zuhur, kami masuk kompleks makam. Seperti biasa, saya hanya bisa melafalkan surah Al-Fatihah di depan makam Pak Muh. Tidak lain. Saya tak terbiasa berlama-lama tafakur di makam. Terlebih di sebelah nisan sosok agung macam Muhammad Zuhri.

Pak Muh adalah bintang buat saya. Ia cerlang gemintang yang menuntun dan membuka kesempatan saya untuk menyibak hakikat manusia. Ia meyakinkan saya bahwa wujud manusia tidak lain tak bukan adalah perbuatan, yang kemudian saya pahami sebagai olah budi, mendayakan budi.

Namun, kebanyakan kita terjebak hanya semata mengejar dan mengembangkan fasilitas hidup. Kita gegap gempita memamerkan pengetahuan an sich. Kita rajin mendayagunakan sarana-sarana milik. Sementara makna kita sendiri terabaikan. Kita acap galau akan fasilitas yang dimiliki tidak sebesar yang dipunyai orang lain. Kita acap meratap kenapa hanya segini sandang, pangan, papan, dan kebutuhan material lainnya.

Nah, Pak Muh secara apik mengibaratkan hidup di muka bumi ini macam kilat terang di malam yang gelap. “Kehidupan adalah sinar terang di antara dua kegelapan sebelum dan sesudahnya.” ungkapnya. Jadi, hanya sesaat.

Tapi, walau sesaat, Tuhan mengamanatkan tugas yang tak terkira, yang hanya di pundak manusialah amanat itu tersemat. “Sungguh, Kami telah menawarkan amanat [berupa akal dan kemampuan berkehendak] kepada lelangit, bumi, dan gunung-gunung; tapi, mereka menolak memikulnya karena mereka khawatir terhadapnya. Namun, manusia mengambilnya—sebab, sungguh, manusia selalu mudah menjadi paling jahat, paling bodoh.” (Al-Ahzab: 72).

Muhammad Asad, dalam The Message of the Quran, menjelaskan makna amanat itu sebagai ‘akal’ atau ‘intelek’, dan ‘kemampuan berkehendak’ yakni “kemampuan untuk memilih di antara dua atau lebih tindakan atau modus perilaku yang mungkin, dan karenanya, kemampuan memilih antara yang baik dan yang buruk.” (Asad, hal. 819).

Dan, kitab suci (seolah) menandaskan bahwa kebanyakan kita abai memenuhi tanggung jawab moral atas penganugerahan akal dan kehendak bebas tersebut. Wujud keluaran dari intelek dan kehendak bebas itu justru mengarah pada pemujaan terhadap materialisme semata. Memang, materi itu penting tapi tetap tidak boleh diberhalakan. Sebab di hadapan Yang Mahakuasa, materi itu bersifat relatif.

Seyogianya, ini yang saya peroleh dari wejangan Pak Muh, materi dan segala fasilitas hidup itu sebatas hak milik, tapi di baliknya memiliki fungsi sosial yang harus digunakan dengan semangat altruis.

Dan, altruis inilah—yakni semangat yang mengutamakan kepentingan orang lain, tidak mementingkan diri sendiri—yang melahirkan mentalitas gotong royong. Kita tahu gotong royong adalah sari pati Pancasila. Dengan begitu, selagi kita bisa mengetengahkan hakikat diri, itu sama halnya dengan ber-Pancasila. 

Kemudian, Pak Muh mengurai detail medan tanggung jawab atas amanat itu. Sebagaimana gambaran Al-Quran tentang orang-orang yang lalai menunaikan amanat,

Dan sesungguhnya, bagi neraka, telah Kami tetapkan banyak makhluk gaib dan manusia yang mempunyai hati, tetapi tidak dapat menangkap kebenaran, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat, dan mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar. Mereka seperti binatang ternak—tidak, mereka bahkan kurang sadar terhadap jalan yang benar: mereka, mereka itulah orang yang (benar-benar) lalai!” (Al-A’raf: 179).