Scroll untuk baca artikel
Berita

Suluk Senen Pahingan Edisi 35: Sujiwo Tejo dan Renungan Kebangsaan

Redaksi
×

Suluk Senen Pahingan Edisi 35: Sujiwo Tejo dan Renungan Kebangsaan

Sebarkan artikel ini
Sujiwo tejo suluk senen pahingan
Budayawan Sujiwo Tejo di gelaran Suluk Senen Pahingan Edisi 35, Minggu (23/02)

Suluk Senen Pahingan edisi ke-35 menghadirkan Sujiwo Tejo dalam diskusi yang mengupas seni, politik, dan moral kebangsaan, memberikan refleksi mendalam tentang realitas sosial dan spiritualitas di tengah arus modernisasi.

BARISAN.CO – Malam itu (23/02), Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon, Bugen, Semarang, dipenuhi ratusan orang yang duduk melingkar, menyimak dengan penuh perhatian. Di antara alunan musik yang mengalir lembut, obrolan yang sarat makna mengisi ruang, menyatukan seni, politik, dan moral kebangsaan dalam satu panggung. Itulah suasana Suluk Senen Pahingan edisi ke-35, sebuah forum diskusi dan refleksi yang telah menjadi wadah bagi mereka yang mencari kedalaman makna dalam kehidupan.

Suluk Senen Pahingan bukan sekadar ajang diskusi biasa. Acara yang diadakan setiap 35 hari sekali ini telah menjadi ruang bertemunya gagasan, kebudayaan, dan spiritualitas.

Kali ini, forum tersebut menghadirkan dua tokoh dengan latar belakang berbeda namun memiliki kesamaan dalam menelaah realitas: Sujiwo Tejo, budayawan nyentrik dengan gaya teatrikalnya, serta Supari Priambodo, Rektor Universitas Semarang (USM) yang dikenal dengan pemikirannya yang tajam.

Keduanya, dipandu oleh Lukni Maulana, membawa audiens menyelami isu-isu kebangsaan dengan cara yang segar dan mendalam.

Lukni Maulana mengatakan, ketika moral kebangsaan runtuh, berbagai sektor bidang akan mengalami kelumpuhan. Baik itu seni, budaya, pendidikan, ekonomi maupun politik.

“Fenomena ini terlihat berbagai kasus korupsi, suap, penurunan indeks demokrasi Indonesia, maupun pemangkasan anggaran yang seharusnya desentralisasi akan kembali menjadi sentralisasi,” terang pegiat Nairaloka ini.

Supari Priambodo memulai sesi diskusi dengan mengangkat kegelisahannya mengenai konsep kebenaran di era digital.

Baginya, yang disebut “benar” hari ini tidak lagi ditentukan oleh fakta dan data, melainkan oleh persepsi individu.

“Kebenaran seakan hanya ada di kepala masing-masing orang. Siapa yang paling keras suaranya, dialah yang dianggap benar,” ujarnya.

Sebagai akademisi, Supari merasa miris melihat rendahnya tingkat literasi di masyarakat.

Ia mengungkapkan fakta bahwa hanya sekitar 30 persen mahasiswa yang benar-benar menjalani kuliah dengan serius. Selebihnya, banyak yang sekadar berstatus mahasiswa tanpa benar-benar mendalami ilmu.

 “Ini menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan. Bagaimana kita bisa membentuk manusia yang berpikir kritis di tengah derasnya informasi yang bias?” katanya.

Selain kebenaran, Supari juga menyoroti soal kemandirian. Ia mengkritik kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih bangga menggunakan produk asing dibandingkan menciptakan produk sendiri.

“Kita bangga bisa berkomunikasi dengan teknologi canggih, tapi semua alatnya buatan luar negeri. Kita bangga dengan produk bermerk mahal, tapi itu justru memperkaya negara lain. Kita harus berubah, harus mulai menghargai karya anak bangsa sendiri,” tegasnya.