BARISAN.CO – Apakah membangun Silicon Valley layaknya di Amerika bisa dicapai dengan cara mengucurkan dana Rp18 triliun ke sebuah bukit kusam penuh alang-alang seluas 838 hektar yang terletak di Kadipaten Sukabumi? Budiman Sudjatmiko dan kawan-kawan percaya demikian.
Pada mulanya, bukit kusam itu bernama Cikidang Resort. Ini adalah sebuah destinasi wisata yang tidak laku lantaran minim infrastruktur penghubung, dan kondisi itu kian parah semenjak Covid-19.
Tidak banyak orang datang ke bukit yang telah beberapa kali salin rupa itu—dahulunya area ini pernah jadi kebun sawit, kebun karet, dan kebun teh.
Tiba-tiba datanglah gagasan tersebut, gagasan untuk menjadikan Cikidang Resort sebagai tempat berkumpulnya para inovator, teknokrat, periset, hingga investor di bidang teknologi.
Namun gagasan itu datang diiringi keraguan. Banyak orang langsung menepis, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil salah satunya. Ia mengatakan, setengah mengingatkan, bahwa Lembah Silikon di negeri Abang Sam bisa berkembang sebab punya faktor-faktor pendukung, yakni periset, industri pendukung inovasi, dan institusi finansial.
“Kalau tiga poin itu tadi tidak hadir dalam satu titik, yang namanya Lembah Silikon hanyalah gimmick,” kata Ridwan Kamil.
Selain itu, fakta bahwa Lembah Silikon di Amerika tidak dimulai dari kucuran dana gigantis dan angan-angan ngablu pemerintah juga terlalu penting untuk dilewatkan. Area berdiamnya raksasa teknologi seperti Facebook, Apple, eBay, Adobe Systems, dan Hewlett-Packard ini punya sejarah panjang yang dimulai dari para penghobi teknologi.
Seperti dicatat dalam laporan Tirto, Lembah Silikon berawal dari anak-anak muda di Palo Alto pada 1920-an yang menjadi penghobi radio amatir. Mereka, pada mulanya, memanfaatkan hobinya untuk mengatur masuk-keluarnya kapal pengangkut barang di daerah yang disebut Bay Area, yakni San Fransisco dan Oakland.
Masuk pada zaman Perang Dunia, hobi mereka dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membangun sistem pertahanan negara di Pantai Barat Amerika. Pada akhirnya, selepas perang, para penghobi ini bersimbiosis dengan kapitalis ventura dan pelahan-lahan Silikon Valley berubah sebagaimana kita kenal sekarang.
Yang ingin disampaikan adalah, Lembah Silikon tidak muncul dari ruang kedap. Ia tumbuh organik dalam rentang nyaris 100 tahun, mulai dari kumpulan penghobi, lalu menjadi firma kecil-kecilan, lalu menjadi raksasa teknologi.
Tapi tampaknya hal-hal semacam itu tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah kita. Sejarah barangkali bukan pertimbangan penting: Investasi yang penting.
Budiman Sudjatmiko, pemrakarsa proyek besar ini, mendaku sudah kantongi banyak komitmen investasi. Ia menyebut ada pemodal dari Kanada untuk membangun infrastruktur jangkar di Bukit Algoritma seperti jalan masuk, pembangkit listrik, gedung konvensi, dan lain-lain.
Selain itu, Budiman juga menyebut sudah ada investor dari Prancis dan Timur-Tengah yang siap menambah nilai investasi kalau-kalau ada kebutuhan pengembangan kawasan tambahan.
Bisa dikata Bukit Algoritma benar-benar mengandalkan investasi. Semua memang butuh modal. Namun, kalau kita mempelajari unsur-unsur yang membentuk modal, tidak heran kalau kita sampai pada kesimpulan bahwa investasi benar-benar mudah berubah.
Investasi adalah mantra ajaib pembius massa. Sayangnya, investasi sulit diramalkan lantaran bergantung pada faktor-faktor yang tidak stabil, semisal ekspektasi keberhasilan atau kegagalan suatu rencana. Maka menjadi penting untuk ditanyakan, apakah ada yang bisa menjamin ekspektasi para bule Kanada dan syekh Arab itu tidak berubah tentang Bukit Algoritma?
Inilah mengapa Bukit Algoritma di Sukabumi tampak lebih mirip seperti indeterminate future, masa depan yang tidak jelas juntrungnya. Padahal, daripada begitu, akan lebih bernilai jika misalnya tenaga bangsa ini dipakai untuk menyelesaikan masalah-masalah absolute present, hari ini dan sekarang.
Indonesia masih punya banyak persoalan terkait inovasi yang tidak bisa selesai dengan hanya membangun infrastruktur. Kualitas riset kita memprihatinkan. Dalam soal anggaran, semisal, pemerintah hanya mengalokasi Rp9,9 triliun untuk kepentingan riset. Itu setara 0,36 persen dari total APBN tahun 2020. Dan jauh lebih kecil dibanding anggaran riset negara lain di ASEAN.
Dukungan yang kecil itu berdampak pada tipologi riset kita. Dilihat dari data Indeks Inovasi Global 2020, Indonesia hanya berada di peringkat 85 dari 131 negara. Dalam lingkup ASEAN, Asia Timur, plus Oseania, data itu menempatkan Indonesia di urutan 14 dari 17 negara.
Tapi bukan hanya anggaran kita yang lemah: kebutuhan kita juga lemah. Dalam satu pernyataan yang pernah dikeluarkan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Bambang Brodjonegoro, dikatakan bahwa riset Indonesia belum memiliki backward linkage dengan industri dan pihak swasta.
Dengan kata lain, belum ada proporsi sektor swasta atau bisnis yang ideal dalam upaya meningkatkan riset dan pengembangan. Sebesar 80 persen biaya riset (yang kecil tadi) masih disusui APBN. Sisanya dibiayai swasta. “Ini yang membuat riset tidak akan maju. Karena riset tidak didorong oleh suatu kebutuhan yang riil,” kata Bambang Brodjonegoro.
Jadi, pada akhirnya, sulit untuk mengharapkan apa-apa pada Bukit Algoritma. []
———-
Indeks Laporan:
- Sisi Buram Lembah Silikon di Negeri Abang Sam
- Adakah yang Bisa Diharapkan dari Bukit Algoritma?
- Dampak Peleburan Kemendikbud–Ristek Terhadap Riset
Penulis: Ananta Damarjati
Diskusi tentang post ini