Budiman Sudjatmiko, pemrakarsa proyek besar ini, mendaku sudah kantongi banyak komitmen investasi. Ia menyebut ada pemodal dari Kanada untuk membangun infrastruktur jangkar di Bukit Algoritma seperti jalan masuk, pembangkit listrik, gedung konvensi, dan lain-lain.
Selain itu, Budiman juga menyebut sudah ada investor dari Prancis dan Timur-Tengah yang siap menambah nilai investasi kalau-kalau ada kebutuhan pengembangan kawasan tambahan.
Bisa dikata Bukit Algoritma benar-benar mengandalkan investasi. Semua memang butuh modal. Namun, kalau kita mempelajari unsur-unsur yang membentuk modal, tidak heran kalau kita sampai pada kesimpulan bahwa investasi benar-benar mudah berubah.
Investasi adalah mantra ajaib pembius massa. Sayangnya, investasi sulit diramalkan lantaran bergantung pada faktor-faktor yang tidak stabil, semisal ekspektasi keberhasilan atau kegagalan suatu rencana. Maka menjadi penting untuk ditanyakan, apakah ada yang bisa menjamin ekspektasi para bule Kanada dan syekh Arab itu tidak berubah tentang Bukit Algoritma?
Inilah mengapa Bukit Algoritma di Sukabumi tampak lebih mirip seperti indeterminate future, masa depan yang tidak jelas juntrungnya. Padahal, daripada begitu, akan lebih bernilai jika misalnya tenaga bangsa ini dipakai untuk menyelesaikan masalah-masalah absolute present, hari ini dan sekarang.
Indonesia masih punya banyak persoalan terkait inovasi yang tidak bisa selesai dengan hanya membangun infrastruktur. Kualitas riset kita memprihatinkan. Dalam soal anggaran, semisal, pemerintah hanya mengalokasi Rp9,9 triliun untuk kepentingan riset. Itu setara 0,36 persen dari total APBN tahun 2020. Dan jauh lebih kecil dibanding anggaran riset negara lain di ASEAN.
Dukungan yang kecil itu berdampak pada tipologi riset kita. Dilihat dari data Indeks Inovasi Global 2020, Indonesia hanya berada di peringkat 85 dari 131 negara. Dalam lingkup ASEAN, Asia Timur, plus Oseania, data itu menempatkan Indonesia di urutan 14 dari 17 negara.
Tapi bukan hanya anggaran kita yang lemah: kebutuhan kita juga lemah. Dalam satu pernyataan yang pernah dikeluarkan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek), Bambang Brodjonegoro, dikatakan bahwa riset Indonesia belum memiliki backward linkage dengan industri dan pihak swasta.
Dengan kata lain, belum ada proporsi sektor swasta atau bisnis yang ideal dalam upaya meningkatkan riset dan pengembangan. Sebesar 80 persen biaya riset (yang kecil tadi) masih disusui APBN. Sisanya dibiayai swasta. “Ini yang membuat riset tidak akan maju. Karena riset tidak didorong oleh suatu kebutuhan yang riil,” kata Bambang Brodjonegoro.
