BAYI itu dinamai Muhammad. Sang kakek, Ketika ditanya kenapa nama anak Abdullah itu “Muhammad”, sang kakek, Abdul Muththalib menjawab, “Aku mengharap dia terpuji berkali-kali di langit dan di bumi.”
Lebih jauh, dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad, Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata Muhammad itu memang berarti “terpuji berkali-kali.” Tapi kata “Muhammad” itu sendiri, pada saat itu telah menjadi nama yang didamba banyak orangtua di Makkah.
Nama dan makna Ahmad/Muhammad telah dikenal dan tercantum dalam kitab-kitab suci agama-agama besar, seperti di ajaran Brahmanisme, Majusi, Yahudi dan Nasrani. Oleh karenanya, wajar bahwa sebagian orangtua telah menamakan anak-anak mereka “Muhammad”. Paling tidak ada 20 orang yang bernama Muhammad sebelum Muhammad saw.
Artinya, nama “Muhammad” sudah tenar diperbincangkan bakal nabi yang ditunggu. Sudah sekian banyak orang yang mengharap anak atau cucunya yang diutus Tuhan. Karena berita kehadiran nabi baru telah tersiar luas di kalangan Hijaz, dan terutama kalangan Ahlul Kitab. Tapi apakah memang Abdul Muththalib menamai cucunya itu karena berita itu? Apakah Aminah menamai anaknya karena berharap anaknyalah yang dipilih Tuhan? Jawabannya bisa “ya”, bisa “tidak”, tapi yang jelas memang akhirnya Muhammad putra Abdullah yang terutus menjadi nabi akhir zaman.
Prof. Quraish menukil riwayat bahwa suatu malam, ketika terang bulan, Aminah mendengar suara, “Tidak lama lagi Engkau akan melahirkan tokoh umat ini. Kalau dia lahir berdoalah memohon perlindungan untuknya dari Yang Maha Esa dan dari semua yang iri hati dan namailah dia Muhammad!”
Tapi, yang menarik adalah uraian Prof. Quraish, bahwa beliau tidak menghidangkan itu sebagai keajaiban semata. Justru hal yang wajar sekira Aminah kerap “mendengar” suara-suara yang memerintahkannya untuk menamai anaknya “Muhammad”.
Dari tinjauan psikologi ada konsep “kekuatan kepercayaan” atau sugesti. Bahwa harapan yang besar, bahwa kepercayaan yang membuncah, akan memengaruhi hati, bahkan fisik seseorang. Saya pun akan membayangkan betapa Aminah pasti akan bersugesti demikian. Betapa dia, saat itu, adalah orangtua tunggal. Suami tercinta, Abdullah, meninggal dunia, pada saat ia membutuhkan belaian kasih sayang. Betapa akhirnya harapan dan curahan kasih sayang Aminah tertuju sepenuhnya pada sang janin.
Namun demikian, jika kita memang benar-benar memahami itu sebagai gejala objektif, Prof. Quraish tetap mengingatkan pembaca bahwa bisa pula Aminah memang benar-benar mendengar “suara” itu. Bahwa yang suprarasional pun bisa juga menyapa Aminah, yang memang merupakan ibu kandung sang manusia agung, sang pembimbing umat manusia hingga akhir zaman.
Lagian fakta ini juga tidak bisa ditampik, pertama nama janin yang dilahirkan itu adalah “Muhammad”, artinya “yang terpuji berkali-kali”. Kedua, sang ibu bernama “Aminah”, artinya “yang selalu merasa aman sehingga dapat memberi rasa aman”.
Ketiga, sang ayah bernama “Abdullah”, artinya “seorang pengabdi lagi alat yang dipakai Tuhan”. Keempat, sang kakek bernama “Syaibah al-Hamd”, walau lebih dikenal dengan nama Abdul Muththalib. Nama “Syaibah al-Hamd” berarti “orang tua yang terpuji”. Kelima, bidan yang membantu Aminah saat melahirkan bernama “Asy-Syaffa’”, artinya “yang sehat dan sempurna”. Keenam, kemudian yang menyusukan Muhammad saw. kecil selain Aminah adalah “Halimah”, artinya “seorang wanita yang lapang dadanya”.
Dari fakta tersebut, jelas bukan sebuah kebetulan, melainkan anugerah Allah, bahwa bayi yang dikandung Aminah, yang kemudian menjadi sosok agung itu sedari dini lekat dengan nama-nama yang bermakna baik. Hal ini jauh dari analisa psikologi atau dunia kedokteran paling modern sekali pun. Bahwa Muhammad saw. lahir dan lekat dengan sosok-sosok yang menjunjung kemuliaan. Sehingga wajar pula, anugerah Tuhan berupa fakta suprarasional kerap menyertai beliau dan kalangan yang melingkupi beliau.