Scroll untuk baca artikel
Fokus

Bagaimana Moral & Pendanaan Pemerintah Terkait Rehabilitasi Hutan

Redaksi
×

Bagaimana Moral & Pendanaan Pemerintah Terkait Rehabilitasi Hutan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Hujan lima hari di Provinsi Kalsel, 9-13 Januari 2021 lalu, menyebabkan 11 dari 13 kabupaten/kotanya terendam banjir. Tiga wilayah di antaranya terdampak cukup besar yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Tanah Laut.

Anomali cuaca diklaim sebagai penyebab banjir itu. Mengacu BMKG, curah hujan tercatat lebih besar 8-9 kali lipat dari biasanya. Sebanyak 2,08 miliar m3 air masuk ke sungai Barito, sementara kapasitas sungai kondisi normal hanya 238 juta m3. Begitulah sehingga kemudian air tumpah-tumpah meratakan pemukiman.

“… KLHK selaku pemegang mandat walidata pemantauan sumber daya hutan, menjelaskan, penyebab banjir Kalsel anomali cuaca dan bukan soal luas hutan di DAS Barito wilayah Kalsel,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya dalam akun Twitternya, Rabu (20/1).

Kicauan Siti Nurbaya itu sekaligus menampik tuduhan aktivis lingkungan dan masyarakat, bahwa banjir terjadi akibat deforestasi Kalimantan. Dari Greenpeace Indonesia, misalnya, kemarin lalu menyebut banjir merupakan akibat hilangnya sekitar 304.225 hektar tutupan hutan sepanjang 2001-2019: sebagian besar sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pertanyaannya: apakah hujan dan hutan saling terkait, benarkah deforestasi di anak benua itu menyebabkan banjir? Tentu saja.

Keberadaan hutan teramat penting dalam konteks ini. Bahkan oleh pemerintah sendiri, hutan disebut sebagai life support system. Hutan dianggap satu komponen dari kombinasi yang memungkinkan kelangsungan hidup sebuah lingkungan normal.

Maka asumsinya, jika ditemukan kondisi di mana masyarakat tidak dapat hidup normal (seperti mengalami kebanjiran, dll), di situlah life support system dapat dianggap tak mampu menjalankan fungsinya dengan baik.

Peta laju deforestasi Kalimantan. Kartografer: Hugo Ahlenius.

Hari ini, saat dunia sedang memperhatikan arti penting keberadaan hutan, pemerintah sebetulnya tak terlalu jauh tertinggal dalam konteks wacana lingkungan demikian.

Menteri Siti Nurbaya dalam forum G20 beberapa waktu lalu, bahkan menyampaikan kepada dunia bahwa Indonesia telah memiliki tiga kekuatan dalam membangun lingkungan hidup dan kehutanan, yaitu kekuatan moral, intelektual, dan pendanaan.

Sayangnya, apa yang terdengar harus selalu diuji mata dan telinga. Meski moralnya sudah oke (ditandai dengan upaya keras pemerintah menjalankan amanat konstitusi tentang lingkungan), dan intelektualnya beres (melihat banyaknya ahli yang dilibatkan), tampaknya sisi pendanaan tidak pernah mengisyaratkan keseriusan pemerintah mengatasi persoalan lingkungan.

Grafik 1: Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga 2021

Sumber data: Kementerian Keuangan

Sekurang-kurangnya satu dekade terakhir, anggaran KLHK terbilang rendah dibanding kementerian atau lembaga (K/L) lainnya.

Pada tahun 2021 ini, KLHK hanya menempati urutan 18 dalam alokasi belanja K/L. Posisinya hanya setingkat lebih baik dari tahun lalu (2020) yang menempati urutan ke-19.

Bahkan dalam realisasi tahun lalu, KLHK termasuk yang penyerapannya kurang baik. Alokasi belanja sukar dibilang optimal. Urutan persentase realisasi hanya yang ke-46 dari total 85 K/L, dengan realisasi 93,94%.

Alokasi belanja untuk tahun 2021, pun, lebih rendah dari alokasi tahun 2019. Target output dengan sendirinya juga lebih rendah, padahal masalah lingkungan hidup dan hutan makin bertambah.

Namun, kebijakan KLHK mengalokasikan anggaran terbesarnya untuk rehabilitasi hutan dan lahan serta upaya konservasi 2021 patut menjadi perhatian.

Grafik 2: Komposisi Anggaran KLHK 2021

Sumber data: KLHK

Dari total Rp7,9 triliun anggaran yang diterima KLHK, sebanyak Rp4,1 triliun diuntukkan Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) dan Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE).