BARISAN.CO – Beberapa waktu lalu, pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2021 di Jakarta, Presiden Joko Widodo bicara mengenai pentingnya hutan bakau atau mangrove, Selasa (4/5/2021).
Dalam konteks perkembangan dunia yang sedang mengarah pada ekonomi hijau, Presiden mengatakan, Indonesia harus mendapatkan manfaat dari keberadaan hutan bakaunya yang demikian luas. “Kita bisa memperoleh manfaat besar dari hutan tropis mangrove yang kita miliki … Ini adalah kekuatan kita ke depan.”
Arti penting ekosistem mangrove akan terasa jika dikaitkan dengan fungsinya sebagai penyerap zat asam arang (CO2). Zat ini telah lama mengubah dunia makin menyerupai neraka, dan mangrove disepakati merupakan jawaban untuk mempertahankan dunia sebagai tempat yang layak ditinggali.
Oleh sebab itu mangrove perlu dijadikan perhatian baik kualitasnya maupun luasnya. Saat ini, tercatat ada 3,31 juta hektare kawasan mangrove yang menyebar di 34 provinsi Indonesia. Itu setara dengan luas negara Belgia, atau sekitar seperempat dari ekosistem mangrove seluruh dunia.
Kondisi ekosistem mangrove amat beragam di tiap daerah. Namun, penting untuk mengantisipasi kecenderungan buruk yang sedang marak terjadi.
Menurut Peta Mangrove Nasional, dari total luas hutan bakau yang ada, sebanyak 19% atau 637 ribu hektare ekosistem mangrove mengalami kondisi kritis. Banyak faktor yang menyebabkan itu terjadi, di antaranya adalah alih fungsi lahan (menjadi perkebunan, sawit, tambak, atau permukiman) dan degradasi kualitas karena limbah.
Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, I Wayan Eka Darmawan, seperti dikutip dari Tempo, mengatakan kerusakan mangrove paling ekstrem terjadi saat ekosistem ini terkena limbah minyak.
“Bakau bernapas dari pori-pori di akar. Jika akarnya tertutup lumpur, minyak, atau polutan lain, bakau akan terbunuh pelan-pelan. Siklus hidupnya juga lambat, mencapai puluhan tahun,” kata Wayan Eka.
Ia pernah meneliti bakau di Rote, selatan Kota Kupang, pada 2015. Saat itu kondisinya masih bagus dan semua berubah setelah ada limbah minyak. Tahun ini, Wayan mendapat kabar sebagian sudah mati berdiri. Batang dan ranting pohon utuh, tapi daunnya habis. “Saya cek juga di Google Map, sekarang kelihatan putih, tersisa ranting kering.”
Jika benar mangrove—sebagaimana disebut Presiden—adalah ‘kekuatan masa depan’, maka upaya mengoptimalkan kekuatan itu harus segera dilakukan. Penting bagi pemerintah untuk mulai merancang pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. Namun sebelum itu, kondisi mangrove yang kritis perlu upaya rehabilitasi secara seksama.
Sejauh mana proses rehabilitasi sudah berjalan? Saat ini, cukup banyak lembaga pemerintah yang diberi amanah menyelematkan mangrove. Ada Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), KLHK, KKP, dan pemerintah daerah. Belakangan, lembaga-lembaga itu dihimpun di bawah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Dalam praktik untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, ditetapkan bahwa mangrove kritis yang berada di dalam kawasan hutan menjadi tanggung jawab KLHK. Sementara yang berada di luar hutan menjadi tanggung jawab KKP.
Pemerintah menggelontorkan total sekitar Rp1,5 triliun anggaran untuk rehabilitasi mangrove. Sebagian besarnya digunakan untuk pembibitan dan penanaman. Dikutip dari Antara, Kepala BGRM Hartono mengatakan rehabilitasi tahun 2021 ini berfokus pada area sekitar 83 ribu hektare di 9 provinsi: Sumut, Bangka Belitung, Kepri, Riau, Kalbar, Kaltim, Kaltara, Papua, dan Papua Barat.