SEJAUH ini memang saya belum menemukan edukasi bahwa batik dan kain bermotif batik adalah dua hal berbeda. Batik adalah handmade, kain bermotif batik keluaran pabrik (yang mendaku sebagai batik) adalah buatan mesin.
Ada lagi varian lain, batik sablon. Meskipun handmade namun ini juga tak bisa disebut batik karena yang dilakukan adalah menempelkan warna.
Berbeda dengan batik yang sejati. Meskipun batik cap yang lebih murah, teknik pewarnaan tetap dengan mencelup. Untuk membentuk motif tetap menggunakan lilin atau malam sebagai perintang warna.
Dalam proses pembuatan ini, seringkali dijadikan sebagai sebuah tirakat. Tangan yang mengecap itu, bisa saja diiringi selawat, novena, bahkan pembacaan to tin Keng dalam hati pembuatnya.
Gerakan tangan menjadi ada irama yang mengatur tempo dan tekanan canting atau capnya. Hasilnya adalah sebuah laku spiritual. Yang semacam ini, sangat sulit ditargetkan berapa lama jadi. Bisa saja setahun lebih selembar kain pun tak jadi. Namun bisa pula sehari menghasilkan dua atau tiga lembar dengan motif yang sama.
Ketika batik menjadi tirakat, maka yang didapat pembatiknya adalah berkah dalam hidup. Lalu kain yang dihasilkan?
Kain itu adalah bonus dari sebuah laku. Bonus yang bisa membawa berkah dan menemukan takdirnya sendiri.
Seperti tiga kain ini, dua adalah batik cap dengan motif bandeng presto yang dikomposisikan sebagai Kawung, lay out pola tambal dengan kembang Turi. Kemudian yang merah adalah motif cap, ada dua gong berhimpitan.
Satu lagi adalah batik tulis dengan pewarna alam yakni dari tanaman indigo yang akhirnya dikunci menggunakan Tunjung.
Tiga kain ini meminta saya mempertemukan dengan takdirnya, terutama untuk menggaji anak-anak sanggar yang sebentar lagi masuk tanggal gajian.
Silakan langsung ke sanggar atau boleh juga kontak saya secara privat. Yang berjodoh adalah takdir kain-kain ini. Tak selalu mahal, bisa saja menjadi sangat murah hanya beberapa ratus ribu, bisa pula menjadi sangat mahal sampai ratusan juta. Semua berpulang pada takdir kain-kain ini. [][][]