Dalam pengamalan Pancasila di kehidupan sehari-hari, filsafat proses Damardjati Supadjar terlalu berharga dilewatkan. Kesadaran proses sekurang-kurangnya dapat menghindarkan kita dari godaan untuk melakukan lompatan kesimpulan (jump to conclusion). Begitupun sebaliknya, berkat sadar proses, identifikasi persoalan Pancasila dapat dilakukan lebih cermat.
Dengan sendirinya sadar proses juga menjauhkan kita dari upaya-upaya mubazir. RUU HIP yang belum lama distop itu satu contoh, ketika ada semacam kesembronoan kesimpulan bahwa persoalan Indonesia bisa selesai cukup dengan gotong-royong sila keempat saja, sembari menyingkirkan proses di balik sila-sila lainnya.
Hubungan Pancasila dan Benda-benda
Semasa hidupnya, Damardjati Supadjar juga sering mewanti-wanti akan adanya ‘bahaya’ di sela-sela Pancasila. Betapapun Pancasila sudah merangkum hubungan manusia dengan Allah Swt, serta hubungan manusia dengan sesamanya, ia belum eksplisit menunjukkan bagaimana hubungan manusia dengan benda-benda.
Kekhawatiran Damardjati Supadjar beralasan. Dunia modern sudah terlalu berwajah materialisme. Sialnya, hubungan manusia dan benda sering kali membatalkan hubungan-hubungan lainya. Damardjati mengingatkan, dengan mengutip kuotasi Raden Sosrokartono: “Bondho iku bondo (harta itu membelenggu)”
Peringatan Damardjati Supadjar berlaku kepada siapapun. Namun jelas, sebagai pemilik saham terbesar atas praktik pengamalan Pancasila, pemerintah adalah objek sentral yang tak luput dari kritik Damardjati. Terutama tentang bagaimana hubungan pemerintah dengan kebendaan, misalnya: utang.
“Kenyataannya kita memang berebut ‘uang’ Bank Dunia, bukannya merebut ilmu ekonominya,” tulis Damardjati Supadjar, dalam risalah yang ditulisnya berjudul Kecerdasan Kolektif dalam Mewujudkan Nilai Kejuangan Universitas Gajah Mada (8:2005).
Damardjati Supadjar menilai, sering dilupakannya konsekuensi “apabila, maka” saat berhubungan dengan benda, menjadi penyebab maraknya pembacaan terbalik atas sebuah tanda. Sehingga yang terjadi bukannya ‘sakit dahulu senang kemudian’, melainkan ‘senang dahulu menghabiskan utangan, susah generasi kemudian mengembalikan pinjaman’.
Hingga setua tubuhnya mengizinkan, Damardjati Supadjar masih setia menulis sebagai bentuk pengabdian bagi umat manusia. Pemikirannya dituangkan dalam banyak buku, antara lain Filsafat Ketuhanan Menurut Alfred North Whithead; Mawas Diri; Nawangsari; dan Sumurupa Byar-e.
Sekitar pukul 17.05 WIB, tanggal 17 Februari 2014, Damardjati Supadjar berpulang. Ia pergi dengan mewariskan sejumlah pemikiran yang belum banyak disentuh oleh diskusi akademik, lebih-lebih publik.