MASIH ingat banget, tahun 2015, bersama rekan-rekan saya bikin Reading Group Kuntowijoyo (RGK). RGK berlangsung setiap dua minggu pada hari Sabtu malam. Nah, dalam suatu episode, RGK dibuka dengan pembacaan puisi Kuntowijoyo, Pabrik dan Waktu oleh Rina Sunia, salah satu peserta. Dalam baitbait-nya, Kuntowijoyo merekam deru debu industrialisasi. Berduyun manusia memadati jalanan mengisi waktu demi efektif dan efisiensi mesin-mesin pabrik. Sebuah gambaran yang menegaskan teknokratisme.
Usai perform puisi, lanjut ke pembacaan superlelet sebagaimana yang sudah-sudah. Saat itu masuk bab Cita-Cita Transformasi Islam. Pak Kunto mengenalkan istilah Humanisme Teosentris. Ia menyebutnya sebagai dasar paling sentral nila-nilai doktrin Islam. Al-Qur’an, dalam awal-awal Al-Baqarah menyitir trilogi: Iman—Salat—Zakat, yang senada dengan formasi Iman—Ilmu—Amal.
Iman merupakan ranah kesadaran ketuhanan, bermuara pada zakat atau amal, wujud kesadaran kemanusiaan. Sedangkan salat atau ilmu adalah jembatan penghubung antara kesadaran ketuhanan dengan kesadaran kemanusiaan. Sebuah antara yang bersifat abstrak dengan yang konkret. Kita mafhum, kesadaran ketuhanan itu abstrak, dan amal saleh wujud konkretnya.
Iman dan amal adalah dua kenyataan, yang pertama mendasari yang kedua. Untuk mendapatkan dorongan dalam diri, agar bisa menyelaraskan iman dengan amal, aktivitas penghubungnya salat.
Humanisme Teosentris adalah kesadaran kemanusiaan dan kesadaran ketuhanan. Bahwa pusat keimanan adalah Tuhan, tapi berujung aktual pada manusia. Tauhid merupakan pusat orientasi nilai, pada saat yang sama, manusia adalah tujuan transformasi nilai.
Bagi Pak Kunto, Islam adalah agama yang gelisah sepanjang mengenai problem yang menimpa manusia. Problem serius kemanusiaan menurut Al-Qur’an dalam tafsiran doktor sejarah UGM itu adalah kemiskinan. Orang yang tak peduli terhadap kehidupan orang miskin, kelak bakal menghuni neraka. Jadi logislah kenapa zakat diwajibkan. Zakat fitrah –yang umum kita kenal—sebagai aksi kemanusiaan, dimaksudkan untuk membersihkan puasa. Padahal puasa merupakan perbuatan Ilahiah. Artinya kekurangan yang bersifat Ilahiah dapat ditebus dengan perbuatan kemanusiaan.
Sehingga jelas, Islam merupakan humanisme teosentris, ada kontinuitas antara perbuatan Ilahiah dengan perbuatan kemanusiaan. Kalau orang tidak kuat berpuasa, gantinya dengan membayar fidyah, memberi makan fakir-miskin. Tidak akan berarti ibadah mahda seseorang jika tak berlanjut pada perbuatan baik pada sesama manusia.
Humanisme teosentris serasa penting dan mendesak, mengingat umumnya umat Islam masih bersikap menyebelah. Yang aktif sebagai penegak kemanusiaan, macam aktivis HAM, kesataran gender, dan demokrasi berdiri dalam oposisi biner dengan aktivis masjid. yang emoh bersentuhan dengan yang serba duniawi. Aktivis kemanusiaan hanya melulu bersinggungan dengan masalah-masalah manusia, sebaliknya yang “sok Ilahiah” juga merasa “pasti” surga lantaran intim dengan Tuhan dan berjarak dengan detak kehidupan dunia.
Setelah dirasa cukup prosesi pembacaan makalah esai, lanjut dengan pembacaan cerpen Burung Kecil Bersarang di Pohon. Ada continuum kesadaran ketuhanan dengan kesadaran kemanusiaan dalam cerpen tersebut. Serasa penandasan bahwa humanisme teosentris itu sungguh utama.
Pak Kunto melukiskan keadaan seorang imam masjid, yang mahaguru tauhid di sebuah universitas, bersih pakaiannya berjalan melewati pasar hendak menjadi imam dan khatib shalat Jun’at. Berkecamuk dalam benaknya tentang orang-orang pasar yang tak bergegas mengingat Tuhan. Betapa kotornya orang-orang pasar itu.