Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Eksistensi Dan Peran Ulama  Di Era Disrupsi (Bagian 2)

Redaksi
×

Eksistensi Dan Peran Ulama  Di Era Disrupsi (Bagian 2)

Sebarkan artikel ini

Menurut pendapat ‘Ain Najaf dalam ‘Qiyadah al ‘Ulama wal-ummah’, menyebutkan enam tugas dan peran ulama

ULAMA kemudian memposisikan dirinya seperti nabi, atau memberlakukan hasil pemikirannya seakan-akan sebagai ajaran nabi yang tidak bisa dipertanyakan atau dikritik, bahkan lebih bahaya lagi hasil pemikirannya sudah setara dengan kesakralan wahyu Tuhan.

Dalam perkembangan kehidupan modern, “disrupsi” pemikiran atas ajaran agama tidak luput dari peran para ulama yang beragam dalam memahami konteks ajaran agama itu sendiri. Tanggungjawab ulama di era sekarang tidak setara dengan tugas dan tanggungjawab para pendakwah ajaran nabi di masa-masa awal.

Teks al Quran tidak berubah, hadits nabi tidak berubah, namun konten dari kedua sumber ajaran Islam tersebut terus berkembang seiring zaman dan tempatnya. Hal itu membedakan antara yang bersifat eternal (fixed),  dan yang bersifat terus berubah dan dinamis dalam kehidupan masyarakat muslim di seluruh belahan dunia. Dengan konsep ‘modern subjectivity’ ruang fleksibilitas agama menjadi terbuka luas.

Tugas dan peran ulama di era disrupsi.

Memahami eksistensi, tugas dan peran ulama di era disrupsi ini, mengutip dari pendapat ‘Ain Najaf dalam ‘Qiyadah al ‘Ulama wal-ummah’, menyebutkan enam tugas ulama:

1. Tugas intelektual (al ‘amal al fikriy); ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan majlis-majlis ilmu, pesantren atau lembaga kajian ilmiyah. Menulis buku yang bermanfaat dalam menambah wawasan ummat dan pencerahan pemikiran, meliputi ilmu al Quran, ilmu hadits, akidah, fiqih, ushul fiqh, tasawuf, filsafat Islam, pendidikan dan kebudayaan Islam, ilmu alam, ekonomi, sosiologi dan lain-lain, serta mendirikan perpustakaan untuk dijadikan markas penelitian keagamaan dan sosial.

2. Tugas bimbingan keagamaan; ia harus rujukan (marja’)dalam menjelaskan hukum (halal dan haram), mengeluarkan fatwa atas beberapa persoalan yang berkembang di masyarakat.

3. Tugas komunikasi dengan umat (al ittishal bil ummmah); ia harus dekat dengan umat yang dibimbingnya. Tidak terpisah lalu membentuk kelompok ekslusif, menjadi elit. Masyarakt bisa berinteraksi secara langsung, bersosialisasi dan menyatu dalam setiap kesempatan tanpa sekat atau birokrasi.

4. Tugas menegakkan syiar; ia harus memelihara, melestarikan, dan menegakkan berbagai maanifestasi ajaran Islam. Ini dapat dilakukannya dengan membangun masjid, meramaikannya, dan menghidupkan ruh  Islam di dalamnya dengan menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasi maknanya dalam kehidupan yang aktual dan dengan menghidupkan sunnah Rasulullah SAW sambil menghilangkan bid’ah-bid’ah jahiliyah dalam pemikiran dan kebiasaan umat.

5. Tugas mempertahankan hak-hak umat; ia harus tampil membela kepentingan umat, bila hak-hak mereka dirampas. Ia harus berjuang meringankan penderitaan mereka dan melepaskan belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka.

6. Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum muslimin; ulama adalah pejuang yang siap menghadapi lawan-lawan Islam, bukan hanya dengan lidah dan pena, tetapi juga dengan tangan dan dadanya. Mereka mencari syahadah sebagai kesaksian atas komitmennya yang total terhadap Islam.

Islam sebagai agama yang ajarannya universal, mau tidak mau harus dipahami sebagai sebuah kerangka ajaran dan warisan kehidupan ummat manusia secara global, terlepas dari sekedar doktrin tekstual, namun juga sebuah tuntunan yang rasional dan progresif.

Di era disrupsi ini, sebuah ajaran perlu diperlakukan dengan mengkonfigurasi pemikirannya lewat paradigma etika baru.

Tradisi kritik dan mempertanyakan tentang sebuah pemikiran, tentang penafsiran atas ayat-ayat tekstual dan memahami tradisi dalam konteks sejarah kehidupan manusia perlu terus dirawat dan dikembangkan dalam aktifitas keilmuan yang objektif.