BAGI sebagian kalangan mungkin penggantian istilah “hari ulang tahun” (HUT) menjadi “hajatan” untuk menandai hari jadi ke-495 DKI Jakarta dianggap sesuatu yang tidak penting. Toh, hanya sebuah istilah. Mau diganti atau tidak, tak ada pengaruhnya.
Istilah HUT dari mulai kegiatan tingkat rumah tangga sampai level negara selama ini hanya kegiatan rutin dan nyaris tanpa makna. Bahkan ada yang satire menyebutnya HUT di lingkungan pemerintahan hanyalah sebuah proyek atau nomenkkatur halusnya disebut penyerapan anggaran.
Mungkin karena pemaknaan HUT yang sudah luntur, terlalu generik dan sangat banal dengan makna itulah, Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengubah HUT DKI Jakarta menjadi Jakarta Hajatan.
Saat mengawali pesta rakyat di Pulau Bidadari, Anies menerangkan istilah hajatan yang dicetuskannya. Dalam pemaparan singkat jelas bahwa istilah yang disampaikan bukan sebatas kata atau diksi semata melainkan di dalamnya kaya dengan konsep.
Anies mengatakan, “Hajatan erat kaitannya dengan kemeriahan dan pesta. Apalagi kata hajatan ini dekat dengan budaya Betawi. Kami ingin mengajak seluruh warga Jakarta untuk merayakan bersama, berpesta bersama atas setiap usaha dan karya yang sudah tercipta di Kota Jakarta.”
Dari pemaknaan itu, Anies ingin memberikan contoh ke daerah lain di Indonesia bahwa keragaman itu adalah keniscayaan. Dan, DKI Jakarta adalah laboratorium keragaman dan multikultur yang paripurna.
Anies ingin memberikan kesan bahwa sebuah kata atau istilah juga bisa menggerakkan sebuah paradigma atau budaya baru. Jakarta dan juga Indonesia sudah lelah dengan tingkah laku, lampah dan sikap para politikus ambisius yang meraih dan mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara adu domba, adu banteng atau mungkin juga adu ayam.
Sebelum Pemilu 2014, bangsa ini baik-baik saja. Dalam dunia politik kita hanya mengenal dua kelompok atau konstituen yaitu kelompok agama dan nasionalis. Tetapi mereka tidak destruktif.
Namun setelah Pemilu 2014 dan puncaknya setelah Pemilu 2019 bangsa ini mulai terpecah dengan munculnya dua faksi besar yang saling berhadapan dan kontras. Wacana yang muncul sangat terbatas hanya soal toleran-intoleran, pancasila-antipancasila dan cebong-kadrun.
Sayangnya semua perbedaan itu tidak diartikulasukan dalam forum perdebatan, diskusi, seminar atau simposium. Mereka lebih banyak bertarung dalam media sosial. Ketika kalah atau miskin argumen maka perdebatan pun hanya bisa menyerang pribadi, berupa penghinaan dan fitnah. Rumusnya diadukan ke polisi pakai UU ITE dan setelah itu masuk bui.
Padahal bangsa ini sudah terbiasa dengan perbedaan. Ini diajarkan sangat luhur oleh para pendiri bangsa ini. Perbedaan diselesaikan dengan argumen dan musyawarah. Bila perlu mengalah untuk bangsa, seperti dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta.
Sebenarnya merekatkan bangsa dari perpecahan ini adalah tugas Presiden. Pak Jokowi sangat berkuasa dan kekuasaan itu bisa digunakan untuk merekatkan bangsa. Kita sangat merindukan Presiden yang bisa mengelola perbedaan menjadi sebuah kekuatan yang produktif bukan malah destruktif.
Tapi sayangnya, sampai saat ini belum ada tanda-tanda dari Presiden Jokowi untuk merekatkan bangsa yang pecah ini. Masih ada anggapan kelompok yang mengkritisi pemerintah seperti oposisi hanya penganggu pembangunan.
Dulu ada anggapan setelah Presiden Jokowi menjadikan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif semuanya akan selesai. Perpecahan di masyarakat akan selesai! Namun, Presiden lupa bahwa pendukung Prabowo-Sandi adalah kelompok yang mendukung ide atau platform bukan pendukung buta. Ketika idenya berbeda mereka sebenarnya lepas dengan sendirinya karena Prabowo-Sandi sudah masuk dalam kolam.