Scroll untuk baca artikel
Opini

Hati Teriris Melihat Ukuran Mendoan Semakin Tipis

Redaksi
×

Hati Teriris Melihat Ukuran Mendoan Semakin Tipis

Sebarkan artikel ini

Ada jutaan rakyat Indonesia yang harinya menjadi menyenangkan kala disuguhi tempe mendoan. Kuliner ini telah lama hadir di sanubari siapapun, tak peduli kelas sosial. Barangkali memang tempe mendoan sudah termasuk fenomena budaya di negeri ini.

Mahal tapi merakyat, begitulah sekiranya definisi mendoan. Dikatakan mahal karena kuliner ini mengorbankan kedaulatan: kedelainya impor, tepungnya impor, minyak gorengnya impor, dan mungkin hanya menyisakan onclang & seledri sebagai bahan baku yang masih bisa dipetik dari kebun negeri sendiri. Disebut merakyat, karena ia deras terjual di dalam arus duit receh terutama kalangan bawah.

Berita-berita naiknya harga kedelai di awal tahun ini tentu saja ironi. Sebagai bahan baku utama mendoan, kedelai menampakkan betapa ketergantungan impor Indonesia tak kunjung selesai semenjak dibukanya pasar bebas. Saat eksportir menaikkan harga, kita langsung kelimpungan.

Pedagang-pedagang mendoan lantas memutar otak. Banyak di antaranya mengurangi volume irisan tempe lebih tipis dari biasanya, bahkan nyaris menyerupai keripik. Padahal, bahasa Indonesia telah sedemikian kaya untuk sekadar membedakan mendoan dengan keripik.

Mari kita cermati. Dalam kamus kita, mendoan diartikan: n. Jw. Tempe yang dipotong tipis lebar, dicelupkan ke dalam adonan tepung berbumbu, kemudian digoreng setengah matang.

Sedang keripik adalah: n. Penganan goreng yang dibuat dari kentang, ubi kayu, dan sebagainya yang diiris tipis-tipis lalu digoreng.

Pengulangan kata ‘tipis-tipis’ dalam definisi keripik menegaskan pesan bahwa kuliner ini memang dikreasi untuk kebutuhan lidah tertentu. Dan itu berbeda dengan ‘tipis lebar’ dalam definisi mendoan. Namun, kebijakan ekonomi negara yang keranjingan impor kedelai membuat garis batas ukuran keduanya kabur kepalang tanggung.

BPS mencatat, pada 2019, Indonesia mengimpor kedelai sebanyak 2,67 juta ton atau senilai 1,06 juta dollar AS. Meningkat dari 2018 yang sebanyak 2,85 juta ton atau senilai 1,1 juta dollar AS. Pandemi sekalipun tidak mengurangi impor. Tercatat dari Januari sampai November 2020, Indonesia telah mengimpor kedelai sebanyak 2,31 juta ton dengan nilai transaksi 932 juta dolar AS.

Kenapa Indonesia tidak memaksimalkan produksi kedelai dalam negeri? Itu bukan pertanyaan melainkan harapan. Lebih-lebih, kedelai impor telah mengalami perombakan transgenik, sehingga kandungan nutrisinya tidak lebih baik daripada kedelai lokal hasil produksi petani kita. Itu hanya satu sisi. Dalam banyak hal kecuali tampilan, kedelai kita punya performa lebih baik.

Kita jelas perlu mengonsumsi kedelai terbaik, dan kita bisa mewujudkan itu kalau petani-petani didukung. Pada gilirannya kita juga butuh ukuran mendoan yang menyenangkan. Makanan-makanan berbahan terbaik dengan ukuran yang menyenangkan, semua orang kiranya tahu, biasanya adalah sebab terciptanya kesehatan badan dan kebahagiaan pikiran. []