Oleh: Noerjoso
BUKAN! Sekali lagi ini bukan tulisan tentang puisinya Pak Sapardi Joko Damono yang romantik itu. Tetapi ini memang hanya tentang hujan bulan Juni yang saat ini tengah kita nikmati bersama. Tak dipungkiri memang di telingan kita keduanya sama-sama terdengar romantik.
Sepanjang umur saya sepertinya hujan bulan Juni serupa ini baru kali ini saya alami. Entah karena musim hujannya yang lebih panjang atau musim hujannya yang mundur dari jadwal biasanya.
Tapi intinya hujan pada bulan Juni adalah sebuah ketidakwajaran. Apalagi intensitasnya cukup tinggi. Pertanyaannya ada apa sebenarnya dengan hujan bulan Juni kali ini?
Jawaban sederhananya tentu saja adalah bahwa telah terjadi perubahan variabel iklim. Perubahan variabel iklim yang dimaksud itu diantaranya adalah perubahan suhu, tekanan udara, angin, curah hujan, dan kelembaban sebagai akibat dari pemanasan global.
Pemanasan global (Global Warming) adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Pada saat ini bumi menghadapi pemanasan yang cepat.
Menurut para ahli meteorologi, selama seratus tahun terakhir ini, rata-rata temperatur bumi telah meningkat dari 15°C menjadi 15.6°C. Hasil pengukuran yang lebih akurat oleh stasiun meteorologi dan juga data pengukuran satelit sejak tahun 1957, menunjukkan bahwa sepuluh tahun terhangat terjadi setelah tahun 1980, dan tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990.
Dampak dari panasnya bumi mengakibatkan penguapan tinggi dan curah hujan turun secara tidak menentu hingga akhir tahun 2007. Secara kuantitatif nilai perubahan temperatur rata-rata bumi ini kecil tetapi dampaknya sangat luar biasa terhadap lingkungan.
Dampak pemanasan global mengakibatkan kenaikan permukaan laut, perubahan iklim, kerusakan pada organisme dan ekosistem, dan pengaruh terhadap ketersediaan air dan pertanian. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah terjadinya perubahan iklim.
Menurut laporan IPCC (Intergovernmental on Panel Climate Change) suhu global rata-rata akan meningkat dengan laju 0,3 derajat Celsius per dasawarsa. Suhu global ratarata tahun 1890 adalah 14,5 derajat Celsius dan pada tahun 1980 naik menjadi 15,2 derajat Celsius. Diperkirakan untuk tahun 2030 hingga 2050 nanti suhu global rata-rata akan naik 1,50 sampai dengan 4,5 derajat Celsius.
Kenaikan suhu bumi ini akan mengakibatkan gletser pada kutub-kutub bumi mencair. Es bumi yang mencair akan menjadi air laut dan menambah tinggi permukaan air laut. Jika terjadi kenaikan konsentrasi CO2 sebesar 2 sampai dengan 4 kali dari kondisi sekarang dalam rentang 100 tahun ke depan, maka dengan sendirinya akan menaikkan muka permukaan air laut sekitar 0,25 m.
Beberapa daerah dengan iklim yang hangat akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan menjadi lebih cepat kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman terutama pada kemampuan produksinya.
Hancurnya kemampuan produktifitas tanaman dipastikan akan dapat berdampak pada hancurnya suplai makanan di beberapa tempat di dunia. Secara otomatis hewan dan tanaman pun akan bermigrasi ke arah kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah.
Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini sangat besar sehingga ilmuan-ilmuan dunia menyerukan perlunya kerjasama internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah perubahan iklim global ini. Dampak kerusakan lingkungan akan berantai dan tidak pernah putus selama belum ada tindakan nyata untuk mengantisipasinya.
Kenaikan permukaan air laut akan berdampak langsung pada mundurnya garis pantai, tenggelamnya beberapa daerah dataran rendah dan pulau, banjir pada pulau-pulau kecil atau kawasan kota yang rata dengan pantai serta rusaknya hutan mangrove.
Penenggelaman daratan yang ada akan menimbulkan berbagai masalah bagi lingkungan global, kekurangan lahan permukiman, dan kekurangan lahan untuk sumber pangan.
Penyebab utama pemanasan global yang ada saat ini disinyalir adalah karena tingginya gas-gas rumah kaca sebagai akibat dari kegiatan manusia yang didorong oleh kemajuan industri dan teknologi.
Oleh karena perubahan iklim global dapat mempengaruhi keadaan alam secara keseluruhan, maka komunitas biologi, serta fungsi ekosistem dan iklim harus selalu dijaga. Sudah saatnya Bumi diselamatkan agar bisa dihuni lebih lama dan nyaman.
Hari ini kemajuan peradaban manusia memang telah mencapai jaman keemasannya. Kemajuan peradaban saat ini boleh dibilang belum pernah dicapai oleh peradaban-peradaban sebelumnya. Namun demikian kemajuan peradaban ini ternyata harus dibayar mahal dengan ancaman pemanasan global yang sudah sedemikian nyata.
Sepertinya ada yang perlu direnungkan dengan pondasi peradaban manusia saat ini. Peradaban saat ini boleh dibilang menempatkan alam sebagai objek yang harus ditundukkan. Artinya perlu ada pemahaman baru untuk membangun kembali peradaban manusia agar tidak mencelakai bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Homo Eco religiosus; Sebuah jalan kembali peradaban manusia.
Istilah “Homo” tentu saja akan meengingatkan orang akan berbagai sebutan terhadap manusia. Telah banyak istilah Homo yang pernah menjadi kajian filsafat manusia.
Ada homo sapiens, homo ludens, homo faber, homo ridens, homo politicus, atau homo sociologicus, homo economicus, homo religiosus, homo viator, bahkan juga homo homini lupus, dan lain sebagainya. Berbagai sebutan itu menunjuk sifat pada multidimensionalitas pada diri manusia itu sendiri.
Selanjutnya yang akan dibidik dalam tulisan ini adalah satu dimensi lain dari manusia , yang akhir-akhir ini kembali muncul ke permukaan, yaitu homo ecologicus. Dalam runutan cirinya, ditengarai bahwa ciri homo ecologicus sangat dekat sekali dengan homo religiosus, sehingga tidaklah berlebihan jika manusia disebut sebagai homo eco-religiosus sekaligus.
Berdasarkan pencermatan, wajah homo eco-religiosus ini ditengarai dapat memberi harapan baru pada kehidupan keimanan dan keagamaan di dunia saat ini.
Dengan kata lain, yang akan disajikan dalam tulisan ini adalah bagaimana kepedulian manusia pada lingkungannya, yang justru akan memunculkan kembali wajah homo ecologicus, dimana akan sangat mungkin dapat mengembalikan wajah homo religiosus manusia modern.
Tulisan ini bertolak dari sebuah problem yang dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah sering dikeluhkan oleh banyak orang.
Pada masa modern sekarang ini, manusia homo religiosus sudah tergantikan dengan dominasi wajah homo techno-economicus. Yang dimaksud dengan homo techno-economicus pada dasarnya adalah ‘wajah’ manusia yang didominasi oleh paradigma ekonomi dan teknologi semata.
Dalam hal ini, ekonomi dan teknologi adalah dua hal yang tak terpisahkan. Perkembangan ekonomi jaman sekarang tidak dapat dilepaskan dari peran teknologi sebagai pilarnya, terutama setelah revolusi industri. Peran paling penting dari teknologi adalah keberhasilannya menjebol batas ruang dan waktu ekonomi gaya lama.
Karena itu, teknologi transportasi dan komunikasi menjadi hal yang sangat vital. Teknologi yang telah berkembang begitu pesat ini praktis telah menjadi bagian tak terpisahkan dari manusia modern saat ini.
Dalam peradaban modern saat ini paradigma teknologis telah menggantikan paradigma religius yang pernah mendominasi peradaban manusia sebelumnya. Sangat disayangkan sekali bahwa paradigma teknologis telah merusak manusia dan bumi sebagaimana fenomena pemanasan global yang kita alami sekarang ini.
Tentang hal ini, Skolimowski menemukan bahwa setidaknya ada enam ciri kesadaran teknologis yang ada pada manusia modern saat ini, yaitu (1) objectifying, (2) atomizing, (3) alienating, (4) power dominating, (5) de-sacralizing, dan (6) geared to the eschatology of consumption.
Secara sederhana gagasan pokok dari keenam ciri manusia modern itu adalah bahwa teknologi telah membuat manusia (1) mengobjekkan makhluk atau benda lain, (2) memisahmisahkan dunia ini menjadi bagian-bagian kecil, (3) mengasingkan dirinya dari dunianya, (4) menguasai (mendominasi) pikiran dengan kekuasaan, (5) memandang dunia bukan lagi sebagai tempat yang suci/kudus, dan (6) mengkonsumsi sebagai tujuan hidup.
Keenamnya tentu saling terkait. Keenam hal inilah yang secara meyakinkan telah membawa pada situasi kerusakan lingkungan yang mengancam keberlangsungan bumi.
Terkait dengan hal tersebut, Skolimowski menyebutkan adanya enam ciri kesadaran ekologis, yang dapat dikontraskan dengan enam ciri kesadaran teknologis di atas, yaitu bahwa (1) holistic, (2) qualitative, (3) spiritual, (4) reverential, (5) evolutionary, dan (6) participatory.
andangan yang menyeluruh (holistic) dapat dikontraskan dengan pandangan yang menjadikannya bagian-bagian kecil (atomistic). Pandangan yang menekankan kualitas (qualitative) kontras dengan pandangan yang menekankan kuantitas (quantitative atau penekanan pada konsumsi sebagai tujuan hidup).
Selanjutnya, penekanan pada dimensi spiritual sangat kontras dengan pandangan yang sekular (de-sacralizing). Pandangan yang penuh hormat (reverential) tentu berlawanan dengan pandangan yang menjadikan pihak lain sekedar objek (objectifying). Pun, jelas juga bahwa pandangan yang evolusioner pasti berlawanan dengan pandangan yang mekanistik yang menekankan dominasi kekuasaan (power dominating), dan akhirnya pandangan yang partisipatoris sangat kontras dengan pandangan yang mengasingkan (alienating).
Dan pada akhirnya kini manusia modern telah sampai pada keadaan krisis peradaban yaitu dengan semakin dirasakannya keterbatasan homo techno-economicus dalam menjawab kehidupan.
Dengan adanya krisis ekonomi global akibat pandemi C19 , terlebih dengan krisis ekologis yang makin menghantui kehidupan manusia maka saat ini orang-orang mulai mempertanyakan kembali paradigma kehidupannya yang diusung oleh homo techno-economicus.