Scroll untuk baca artikel
Ekonomi

Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi 2021

Redaksi
×

Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi 2021

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Dampak Pandemi Covid-19 akhirnya membawa perekonomian Indonesia ke jurang resesi. Pertumbuhan ekonomi di triwulan II (-5,32 persen, yoy) dan triwulan III (-3,49 persen, yoy) secara berturut-turut berada di zona negatif.

Sedikit membaiknya pertumbuhan ekonomi di triwulan III dibanding triwulan II-2020 memberikan sinyal bahwa pemulihan ekonomi sedang berjalan. Namun, seiring pandemi yang belum mampu teratasi, sepertinya jalan pemulihan ekonomi 2021 bukanlah jalan yang halus-mulus sehingga perekonomian bisa melaju kencang tanpa hambatan.

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengadakan Proyeksi Ekonomi Indonesia (PEI) secara rutin setiap tahunnya.

Kali ini PEI INDEF 2021 mengambil tema “Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi”, yang secara umum menggambarkan berbagai tantangan dan peluang ekonomi yang akan muncul di tahun depan yang digadang-gadang sebagai tahun pemulihan pasca Pandemi Covid-19.

Harapannya, PEI ini dapat menjadi salah satu pegangan dan referensi bagi para pelaku bisnis, pemangku kebijakan, dan para akademisi sebagai sejumput modal mengarungi badai ketidakpastian yang masih menghadang di tahun 2021 mendatang.

INDEF memproyeksi sejumlah indikator makroekonomi, kebijakan fiskal dan program pemulihan ekonomi pada 2021 sebagai berikut:

1. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 3 persen. Hal ini dilatar belakangi beberapa hal sebagai berikut:

  • Efektivitas penyerapan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang pada tahun ini masih belum maksimal.
  • Program perlindungan sosial belum dapat menggerakan permintaan domestik. Apalagi jumlah bantuan perlinsos berkurang separuh di tahun depan.
  • Belanja kelas menengah masih belum meningkat ketika Pandemi Covid-19 belum mereda.
  • Laju kredit perbankan sebagai sumber utama likuiditas perekonomian masih akan tertekan, sehingga pemulihan ekonomi secara keseluruhan juga akan berjalan pelan.
  • Upaya melakukan ekspansi moneter melalui penurunan bunga acuan juga mengalami keterbatasan seiring menjaga stabilitas kurs juga bagian penting dalam pemulihan ekonomi.
  • Ketersediaan vaksin masih terbatas. Sungguh pun vaksin sudah tersedia hingga 70 persen dari populasi, tentunya proses distribusi dan vaksinasi akan memerlukan waktu dan selama proses tersebut pembatasan aktivitas dan protokol kesehatan masih akan berlanjut.

2. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sebesar Rp 14.800. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut:

  • Tingkat Credit Default Swap (CDS) masih bergerak tinggi dan cenderung fluktuatif dibandingkan dengan pasar negara ASEAN lainnya. Ketika tingkat CDS tinggi, besarnya dana yang dikeluarkan investor untuk melindungi portofolio pun masih tinggi. Investor akan berhati-hati untuk masuk ke pasar Indonesia.
  • Optimisme ekonomi Amerika Serikat pasca Pemilu justru bisa menjadi berita buruk untuk pasar uang Indonesia yang dinamikanya sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal atau asing. Dollar AS akan menguat seiring membaiknya perekonomian AS, sementara Rupiah lebih berpeluang tertekan.
  • Pasar uang di Indonesia yang masih dangkal membuat investor lebih tertarik untuk perdagangan jangka pendek dan bukan untuk investasi jangka panjang, akibatnya Rupiah cenderung fluktuatif di banding beberapa mata uang negara lain. Hal ini juga diperlihatkan dengan rata-rata transaksi valas harian yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

3. Tingkat inflasi sebesar 2,5 persen. Hal ini dikarenakan di tahun 2021:

  • Daya beli masyarakat yang masih tertahan dan aktivitas ekonomi yang belum pulih seperti sedia kala membuat tingkat inflasi masih terpatok rendah.
  • Sisi suplai kebutuhan bahan kebutuhan pokok perlu tetap tersedia dengan baik serta distribusi yang lancar.
  • Hanya sedikit daerah yang diperkirakan mengalami kesulitan mendapatkan bahan pokok secara tepat waktu.

4. Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 7,8 persen (10,4 juta jiwa). Di tahun 2021, terdapat beberapa hal penting yakni:

  • Terdapat pengangguran tambahan sebesar 1,1 juta orang sebagai akibat Covid-19 serta sekitar 2,5 juta orang angkatan kerja baru yang tidak terserap sehingga tambahan pengangguran totalnya tahun 2021 sebesar 3,6 juta orang.
  • Masih belum pulihnya industri domestik sehingga penyerapan tenaga kerja baru masih sangat terbatas.
  • Industri akan cenderung mempekerjakan tenaga kerja yang sebelumnya dirumahkan atau dikurangi jam kerjanya.
  • Flexible working arrangement seperti bekerja dari rumah dan digitalisasi yang terjadi ketika masa pandemi akan membuat kebutuhan akan pekerja khususnya di sektor jasa berkurang.
  • Peraturan Pemerintah mengenai Ketenagakerjaan terbaru sebagai peraturan teknis Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan diterbit pada tahun depan memberikan indikasi akan terjadinya gelombang PHK.

5. Tingkat kemiskinan 10,5 persen. Hal ini disebabkan beberapa faktor yang meliputi yakni:

  • Program perlindungan sosial pada PEN tidak menurunkan angka kemiskinan, namun cenderung hanya menjaga belanja penduduk miskin tersebut agar tidak jatuh ke kondisi yang lebih buruk.
  • Tingkat pengangguran yang meningkat akan mendorong tambahan penduduk miskin baru, khususnya berasal dari kelompok diatas garis kemiskinan.

6. APBN Tahun 2021 “butuh penyembuhan”. Hal ini disebabkan beberapa faktor;

  • Pendapatan negara pada tahun 2021 yang sebesar Rp1.473,6 triliun atau turun sebesar -21,9 persen dibandingkan sebelum pandemi (normal) sehingga tahun 2021 belum pulih sepenuhnya meski terdapat perbaikan dibandingkan Perpres 72 Tahun 2020.
  • Belanja negara pada tahun 2021 yang sebesar Rp2.750 triliun naik sebesar 8,3 persen dibandingkan sebelum pandemi (normal) namun terdapat kenaikan sebesar 0,39 persen dibandingan Perpres 72 Tahun 2020. Namun sayangnya, belanja transfer daerah ditinggalkan dalam fase pemulihan ekonomi dimana dibandingkan sebelum pandemi -7,2 persen (APBN 2020).
  • Struktur prioritas APBN Tahun 2021 juga terdapat skema anggaran yang tidak mengedepan skenario pemulihan ekonomi tahun 2021. Skema pemulihan sepatutnya tetap membutuhkan anggaran fungsi ekonomi, infrastruktur dan sosial yang lebih tinggi.
  • Defisit anggaran yang ditetapkan tahun 2021 sebesar 5,7 persen PDB namun kenaikannya sangat tinggi yakni 227,6 persen dibandingkan sebelum pandemi meskipun lebih rendah dibandingkan Pepres 72 Tahun 2020 yang sebesar -3,61 persen.

7. Program PEN 2021 perlu diperbaiki dan dievaluasi. Hal ini disebabkan beberapa faktor diantaranya sebagai berikut.

  • Diperkirakan penyerapan program PEN hingga akhir tahun 2020 diperkirakan hanya sebesar 67,8 persen. Tidak optimalnya penyerapan, khususnya program non-Bansos dan UMKM, mendorong tidak sinerginya program PEN
  • Program PEN Tahun 2020 untuk bantuan sosial tidak maksimal mendorong konsumsi. Hal ini terlihat pada Triwulan III-2020, konsumsi makanan masih -0,69 persen. Hal ini sebabkan desain yang kurang tepat, besaran bantuan yang relatif kecil serta kebutuhan konsumsi yang semakin meningkat di saat pandemi.
  • Struktur anggaran Program PEN Tahun 2021 berkurang hampir separuhnya padahal unuk bantuan sosial dan UMKM tetap dibutuhkan dengan jumlah yang sama tahun 2021 untuk menciptakan permintaan bagi perekonomian. (Dmr)