Jelaslah, betapa ukuran kebajikan sosial, betapa iman seseorang tidak dapat dipandang sempurna, kecuali jika iman itu membuatnya sadar akan kebutuhan-kebutuhan material sesama manusia.
Keempat, mashlahah (menguntungkan masyarakat). Dalam hal ini, Pak Kunto tampak ingin menekankan bahwa agama, sebagai moral force, tidak sebatas bersifat individual dan hanya melalui kebudayaan. Agama dapat berpengaruh dalam struktur dan proses berbangsa serta bernegara, termasuk dalam demokratisasi, melalui objektifikasi.
Kuntowijoyo mengetengahkan “kesalahan” umat Islam, yang memandang masalah politik sebagai masalah sederhana, bahwa asal semua berbuat baik, selesai urusan. Padahal, baik menurut siapa? Karena “baik” seorang majikan berbeda dengan “baik” seorang buruh. Pengusaha berbeda dengan masyarakat bawah. Politisi berbeda dengan petani.
Dan, demokratisasi jelas mensyaratkan kriteria kebajikan itu berkait dengan mayoritas, dengan kepentingan umum. Maka, mashlahah bukan hanya untuk dan milik elite, bukan hanya milik segelintir kaum the have.
Kelima, ‘adl (adil). Dalam surat An-Nisa: 58, “Apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” Selanjutnya, surat Al-An’am: 152, “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu.”
Untuk kebutuhan demokrasi, Kuntowijoyo mengemukakan dua macam keadilan: distributive justice (demokrasi sosial) dan productive justice (demokrasi ekonomi). Pelaku keadilan distribusi adalah negara, dan penerimanya semua warga negara.
Bentuknya bisa bermacam-macam jaminan sosial. Sementara pelaku keadilan produksi adalah perusahaan, dan penerimanya karyawan, serta bentuknya berupa pembagian pemilikan kekayaan.
Keenam, taghyir (perubahan). Perubahan keadaan sangat ditentukan oleh peranan manusia yang berkesadaran. “Sungguh, Allah tidak mengubah keadaan manusia, kecuali mereka mengubah lubuk diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: 11).
Muhammad Asad menjelaskan potongan ayat itu, sebagai gambaran hukum sebab-akibat yang ditetapkan Allah (sunnatullah), yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat. Sehingga, kebangkitan dan keruntuhan suatu peradaban akan bergantung pada kualitas moral umatnya dan pada perubahan dalam “lubuk diri mereka” sendiri.
Begitulah kaidah demokrasi yang dirumuskan Prof. Dr. Kuntowijoyo.