Kereta cepat dalam kenyataannya bisa menjadi kereta paling lambat di bandingkan KA Parahyangan, bus antarkota dan travel. Atau mungkin paling banyak membuang waktu.
Keberangkatan menuju Halim Perdanakusuma terjebak macet diperkirakan saja sekitar satu jam. Kemudian menunggu kereta sekira 30 menit. Sesampai di Stasiun Padalarang menunggu angkutan 30 menit dan macet menuju kota sekitar 1 jam. Total 3 jam juga. Ini sudah paling minimal.
Karena itu saya ulangi lagi, kecepatan itu absurd dan bisa menyesatkan.
Saya mengusulkan KA Parahyangan jangan dicabut operasionalnya. Justru ini nanti menjadi pelecut bagi manajemen kereta cepat untuk bersaing, efisien dan memberikan pelayanan yang paripurna bagi penumpang.
Ingat, orang naik KA Parahyangan tidak sekadar tujuan kerja, pribadi, atau wisata tetapi ada keterpanggilan dari mereka untuk mempertahankan warisan kolonial.
Rel yang membentang dan merayap bukit, jembatan yang melintasi jurang serta terowongan yang sangat panjang dan gelap adalah artefak pengingat bahwa bangsa ini pernah dijajah dan bangkit.
Kalau untuk sekadar agar kereta cepat untung atau cepat balik modal mungkin usulan Said Didu perlu dipertimbangkan Pemerintah. Tutup saja jalan Tol Cipularang maka kereta cepat membludak dan segera balik modal! [rif]