BARISAN.CO – Sidang gugatan warga negara tentang polusi udara Jakarta ditunda selama tiga pekan. Sedianya sidang dilakukan Kamis (20/5/2021) kemarin, namun Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Saifuddin Zuhri, menyebut ada beberapa berkas yang mesti dilengkapi para pihak yang berperkara.
Sidang gugatan dari Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) dengan nomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PN Jkt.Pst ini diundur hingga 10 Juni 2021.
Banyak pihak tergugat belum memberikan data kesimpulan akibat libur hari raya. Hal ini membuat majelis hakim kesulitan dalam mempelajari berkas perkara dan merangkum putusannya. “Jadi kita perlu waktu untuk mempelajari lebih lanjut gitu, ya. Kita tunda untuk putusannya jadi kita bacakan hari Kamis, 10 Juni 2021,” demikian Saifuddin Zuhri.
Praktis, perkara ini sudah terkatung lebih dari 20 bulan sejak Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menggelar sidang perdana gugatan pada 1 Agustus 2019 silam.
Sebulan sebelum itu, tepatnya pada tanggal 6 Juli 2019, Koalisi Ibukota—yang terdiri dari Greenpeace, Walhi, dan LBH Jakarta—menggugat pihak-pihak yang dinilai bertanggung jawab atas polusi, yaitu: Presiden RI, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup, Pemprov DKI, Pemprov Banten, dan Pemprov Jawa Barat.
Mengenai penundaan sidang gugatan, pihak Koalisi Ibukota mengaku kecewa lantaran bukan kali pertama hal ini terjadi.
“Ini sebenarnya sidang yang ditunda untuk kedua kalinya, ya. Kemarin sudah ditunda tiga minggu dan sekarang ditunda lagi tiga minggu. Ada beberapa dokumen yang belum lengkap terutama soft file yang diajukan sama tergugat, ada juga angka penomoran yang keliru. Kendala teknis saja,” kata Ayu Eza Tiara yang merupakan tim kuasa hukum Koalisi Ibukota kepada wartawan, Kamis lalu (20/5/2021).
“Sebenarnya kita kecewa karena sudah hampir dua tahun sidang, ini prosesnya yang lama sekali,” lanjut Ayu.
Meski masih harus menunggu, Koalisi Ibukota tetap optimistis memenangi gugatan ini. Hal ini tidak terlepas dari 118 alat bukti tertulis, saksi, fakta, dan empat ahli yang dihadirkan selama masa persidangan. Bahkan, bukti yang dihadirkan pihak tergugat juga membenarkan bahwa polusi udara di Jakarta sangat berbahaya.
“Terpenting, ahli yang dihadirkan tergugat justru secara jelas dalam persidangan menyatakan bahwa pemerintah lalai melakukan pemenuhan hak atas udara bersih dan sehat di Jakarta. Karena bukti yang sangat telak ini, kami optimistis 99 persen menang dan 1 persennya bagaimana perspektif hakim,” ujar Ayu dikutip dari Kompas.
Ayu berharap, selama penundaan putusan, hakim dapat mempertimbangkan fakta untuk kabulkan tuntutan 32 penggugat yang adalah perwakilan warga Jakarta (citizen law suit). Adapun aturan yang digugat untuk direvisi salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Pada intinya, Koalisi Ibukota meminta pemerintah untuk menjalankan kewajibannya yang sudah diatur dalam undang-undang, yakni memberikan jaminan udara bersih dan sehat.
Citizen Lawsuit ini berawal dari kualitas udara Jakarta yang dirasa sangat buruk. Koalisi Ibukota menyebut bahwa kandungan polutan—termasuk tetapi tidak terbatas pada NOx, SO2, partikulat (PM), dan merkuri (Hg)—telah menyebar di atmosfer Jakarta pada level yang berbahaya bagi kesehatan.
Menurut data dari stasiun pemantauan udara Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, Jakarta hanya mengalami 40 hari dengan kualitas udara yang “baik” pada tahun 2017. Tahun 2018 hanya memiliki 25 hari “baik”, berbanding dengan 77 hari yang tercatat “tidak sehat”. Pada tahun 2019, jumlah hari “tidak sehat” meningkat menjadi 108, atau naik hampir 50% dari tahun sebelumnya.