Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Kultum Ramadhan: Menjadi Manusia Pemaaf

Redaksi
×

Kultum Ramadhan: Menjadi Manusia Pemaaf

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Menjadi pribadi yang pemaaf berarti memaafkan semua kesalahan orang lain pada dirinya, baik kesalahan tersebut berupa perbuatan seperti kekerasan dan kezaliman, maupun berupa perkataan seperti cacian dan fitnah.

Menurut al-Sa’di, sikap memaafkan lebih utama dari menahan amarah karena dengan memaafkan, berarti si pemaaf berlapang dada atas kesalahan atau keburukan yang telah diperbuat orang lain kepadanya,46 bahkan membalas keburukan tersebut dengan kebaikan,47 sebagaimana nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah swt. dalam al-Qur’an. Di antaranya tertera dalam QS Fushshilat/41: 34-35,

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْاۚ وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ

Artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar”.

Pada rangkaian ayat tersebut, Allah menyifati orang yang mampu memaafkan keburukan orang lain dan membalasnya dengan kebaikan sebagai orang yang sabar, sebab kesulitan dalam memenuhinya. Ibnu Katsir (w 774 H) berkata bahwa orang yang mampu melakukan hal tersebut adalah orang yang memiliki kesabaran karena membalas orang yang telah menyakiti kita dengan suatu kebaikan adalah hal yang berat bagi jiwa. Atas hal itu, memaafkan merupakan salah satu akhlak indah yang dengannya Allah akan melimpahkan rahmat dan ampunan- Nya.

Selain itu, dengan memaafkan, jalinan dengan orang lain tidak akan memanas, bahkan dapat menghadirkan kesadaran dan keluluhan hati pada orang tersebut.

Rasulullah saw. merupakan contoh terbaik dalam pengimplementasian ajaran Islam yang mulia ini. Sebagai utusan Allah swt. yang membawa kebenaran Islam di tengah ke-jahiliyah-an, Rasulullah saw. senantiasa mendapat sikap permusuhan dari kaum musyrik karena dianggap mengancam eksistentsi keyakinan mereka yang telah turun-temurun.

Awalnya, kaum musyrik menghina dan menuduh Nabi saw. seperti menyebutnya sebagai orang gila, tukang sihir, dan pendusta. Setelahnya, sikap mereka semakin keterlaluan dengan melakukan kecaman dan penindasan, seperti yang dilakukan oleh Abu Jahal.

Suatu hari, Abu Jahal melewati Rasulullah saw. di bukit Shafa. Ia lalu mengganggu dan mencaci makinya. Rasulullah saw. diam saja, tidak berbicara sedikitpun.

Kemudian Abu Jahal memukul kepala Rasulullah saw. dengan batu hingga melukainya dan mengalirkan darah. Namun, Rasulullah saw. sama sekali tidak membalas kekerasan yang ditimpakan kepadanya. Justru pamannya, Hamzah, yang membalas perlakukan tersebut. Setelahnya, Hamzahpun memeluk Islam.

Kisah tersebut menunjukkan bagaimana Rasulullah saw. merupakan sosok yang sabar dan pemaaf, meski ia mampu membalas. Bahkan, semakin banyak gangguan yang dihadapinya, semakin bertambah kesabaran dan kemurahan hatinya. Ia adalah orang yang paling jauh dari kemarahan dan orang yang paling cepat ridha (rela). Dalam hadis riwayat Imam Bukhari, Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah saw. tidak membalas seseorang karena kepentingan pribadi, tetapi karena syariat Allah telah ditentang sehingga ia membalasnya karena Allah.

Kesempurnaan akhlak dari Rasulullah saw. membuat orang-orang menyukainya, bahkan mereka yang memusuhinya menaruh rasa hormat padanya. Karena itu, keteladanan tersebut sangat patut ditiru dan diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, hingga permusuhan dapat diredam dan persaudaraan dapat dipererat. Dengannya, keridhaan dari Allah swt. dan manusia dapat diraih. [rif]