Kritik Atas Daya Pertimbangan
Kritik ketiga dari Kant berbicara tentang peranan perasaan dan fantasi. Kritik atas daya pertimbangan dimaksudkan sebagai jembatan antara kedua kritik lain.
Maksud kritik Kant yang ketiga ini adalah mengerti persesuaian kedua lapangan, yaitu keperluan mutlak di bidang alam dan lapangan kebebasan dibidang tingkah laku manusia. Dalam kritik yang ketiga ini nampaknya Kant tidak berhasil menciptakan kesatuan intelektual antara dua kawasan yang berbeda itu.
Kata terakhir bagi Kant adalah heterogenitas: kesenjangan antara dua pihak atau lebih yang tidak mungkin bertemu dalam kesatuan. Dalam hal ini ada pendapat; Jika Kant berpegang pada filsafatnya ia harus meninggalkan Tuhan (atheis) namun bila ia mempertahankan keimanan, ia harus meninggalkan filsafatnya.
Hukum Moral Kant
Teori terkenal Kant dalam bidang moral ialah deontologi. Kata _deontologi_ itu berasal dari bahasa Yunani, “deon” yang berarti apa yang harus dilakukan, kewajiban . Menurut Kant yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak yang baik. Ia menjelaskan bahwa kehendak baik sebagai kehendak yang baik pada dirinya (an sich), tidak bergantung yang lain.
Jadi ada kehendak yang tidak baik pada dirinya, misalnya: kalau kita membantu orang agar pangkat kita ditingkatkan. Kehendak baik adalah sesuatu yang baik pada dirinya, tanpa pamrih, tanpa syarat. Dalam tindakan menunaikan kewajiban, menurut Kant, manusia harus meninggalkan pamrih-pamrihnya, maka kehendak baik di dunia ini terwujud dalam pelaksanaan kewajiban.
Kant lebih lanjut membedakan antara “tindakan yang sesuai dengan kewajiban” dan “tindakan yang dilakukan demi kewajiban”. Yang pertama ini, baginya tidak berharga secara moral dan disebut “legalitas” (Legalitat),_sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas (Moralitat). Kant berpendapat bahwa semakin sedikit pamrih kita untuk menunaikan kewajiban, semakin tinggilah nilai moral tindakan kita. Sebuah tindakan moral yang luhur adalah tindakan yang dilakukan demi kewajiban an sich.
Dalam Grundlegung, Kant membedakan dua macam imperatif. Yang pertama disebut “imperatif hipotesis”. Dengan ini dimaksudkan bahwa asas-asas tertentu yang bersifat obyektif akan dilakukan dengan syarat tertentu, yaitu kalau tujuan pelaku tercapai dengan melaksanakan asas-asas itu.
Rumusnya: “Jika menginginkan X, Anda harus melakukan Y”. Misalnya putusan “Jika mau belajar filsafat, Anda harus membaca buku F”.“Kalau mau bahagia, Anda harus melakukan tindakan T”.
Di sini orang mau bahagia dan tidak mau menolaknya, sehingga harus melakukan T. Imperatif ini disebut hipotesis, yaitu tindakan tertentu diperintahkan sebagai sarana untuk tujuan tertentu (kebahagiaan). Imperatif ini bukanlah imperatif moral.
Menurut Kant, imperatif moral hanya terdapat dalam “imperatif kategoris”. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan perintah itu baik pada dirinya.
Imperatif ini bersifat _a priori._ Kant menemukan bunyi _imperatif kategoris_ itu sebagai berikut: “Bertindaklah seolah-olah _maksim_ tindakan anda melalui keinginan anda sendiri dapat menjadi sebuah hukum alam yang universal”.
Misalnya dalam kasus keinginan berderma kepada tetangga, kita bertanya apakah kehendak (maksim) untuk berderma itu bisa dijadikan hukum universal atau tidak. Kalau bisa, maksim kita itu dibenarkan secara moral.
Imperatif kategoris ini merupakan perintah rasio praktis kita yang harus dilaksanakan tanpa syarat, maka bersifat apodiktif: harus dilaksanakan secara mutlak perlu. Kehendak subyektif untuk melaksanakan imperatif kategoris inilah maksim a priori.
Diolah dari berbagai sumber Jepara, 01 Desember 2020