BARISAN.CO – Sejak makin semaraknya kesadaran soal lingkungan, istilah ecocide atau ekosida pelahan ikut mendapat perhatian. Serupa seperti genosida, ekosida mengandung makna kejahatan besar yang terkoordinir di bawah kontrol kekuasaan, berdampak politik, dan merusak kehidupan manusia.
Ekosida secara sederhana berarti kejahatan terhadap lingkungan. Diambil dari perpaduan kata Yunani ‘oikos’ (yang berarti rumah atau lingkungan) dan kata Latin ‘caedere’ (yang berarti menghancurkan atau membunuh), frasa ekosida pada mulanya muncul dalam konteks perang.
Pada tahun 1970, seorang ahli biologi Amerika Serikat Arthur W. Galston pertama kalinya menggunakan istilah ekosida untuk mengecam penggunaan zat kimia 2,4-D (asam diklorofenoksiasetat) yang dicampur 2,4,5-T (asam triklorofenoksiasetat) oleh tentara AS pada Perang Vietnam.
Campuran dua zat kimia itu menghasilkan senyawa cair serupa pestisida yang diberi kode nama ‘Agen Oranye’. Mengandung konsentrasi kimia yang tinggi, Agen Oranye pada dasarnya mampu mempercepat kematian pada tumbuhan. Dan pemanfaatan Agen Oranye itu punya dua tujuan: (1) menggunduli tanaman agar operasi militer AS lebih jelas dipantau dari udara; (2) menghancurkan persediaan makanan para Vietkong.
Tak tanggung-tanggung. Menurut catatan David Zierler, sebanyak 50 juta liter Agen Oranye disemprotkan dari pesawat Fairchild C-123 ke hutan seluas 20.000 km2 dan ladang seluas 2.000 km2 di Vietnam.
Yang terjadi kemudian? Bencana. Penyebaran Agen Oranye ternyata tak hanya membuat kehancuran tanaman, flora, dan fauna, tapi juga mengubah gen manusia.
Warisan ekosida Perang Vietnam itu masih bisa dilacak hingga sekarang. Studi mengestimasi ada sebanyak 2,1 juta sampai 4,8 juta orang Vietnam terpapar Agen Oranye secara langsung, dan ada total lebih dari 5 juta orang Vietnam (yang mencakup tiga generasi) harus menanggung nasib cacat medis sejak lahir akibat keterpaparan itu.
Definisi Ekosida Sebagai Kejahatan
Perang memberi banyak pelajaran. Di kalangan pegiat lingkungan, relik Perang Vietnam memunculkan pemahaman bahwa pengrusakan lingkungan, bagaimanapun caranya, adalah kejahatan yang nyata yang tak dapat diabaikan.
Dalam perkembangannya, muncul prakarsa agar PBB memasukkan ekosida ke dalam Statuta Roma. Adapun untuk saat ini jenis kejahatan internasional yang diharamkan menurut Statuta Roma adalah: (1) kejahatan kemanusiaan; (2) genosida, (3) kejahatan perang, dan (4) agresi.
Pada 1996, ekosida pernah diusulkan masuk sebagai kajahatan kelima, tapi dikeluarkan dari draf lantaran dinilai belum didefinisikan dengan baik.
Pada 22 Juni kemarin, wacana itu kembali bergaung dalam percakapan publik internasional. Prakarsa datang dari lembaga non-pemerintah di Belanda, Stop Ecocide Foundation.
Stop Ecocide Foundation mengumpulkan 12 anggota panel ahli dari berbagai negara dan merumuskan ekosida ke dalam definisi, yang berbunyi: “Tindakan melanggar hukum atau ceroboh yang dilakukan dengan pengetahuan bahwa ada kemungkinan besar kerusakan lingkungan yang parah dan meluas atau jangka panjang yang disebabkan tindakan tersebut.”
Penyusunan definisi ini dimaksudkan sebagai keinginan politik untuk menghasilkan jawaban nyata atas krisis iklim. Redaksi kalimat dalam definisi itu mengandung upaya hukum terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan kejahatan terhadap lingkungan, di antaranya seperti pembakaran hutan, pencemaran sungai, penumpahan minyak, atau kerusakan ekosistem esensial yang memiliki fungsi sosial, ekonomi, ekologi, budaya, dan ekonomi.
Di Indonesia, wacana ekosida sudah terdengar sejak 2004, sejak Walhi menerbitkan buku berjudul Ecocide: Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Walhi kembali mengulasnya dalam buku keluaran 2019 berjudul Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi.