Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Melawan Permasalahan

Redaksi
×

Melawan Permasalahan

Sebarkan artikel ini

KEKUATAN negara (politik), salah satu kelebihannya, adalah menghadirkan ideologi. Dan, negara kita telah menetapkan Pancasila sebagai ideologi dasarnya. Pada era Soeharto, Pancasila berbarengan dengan ideologi “pembangunan”.

Secara de jure Pancasila memang tetap sebagai dasar negara, tapi de facto gagasan pembangunan lebih dominan, untuk tidak mengatakan Pancasila tenggelam di bawah “pembangunan”.

Kemudian sekarang, era reformasi, ideologi-ideologi berbasis aliran bermunculan. Islam salah satunya, oleh sebagian kalangan hendak didesakkan untuk turut mewarnai negara.

Islam dibangkitkan Kembali sebagai ideologi, sebagaimana dulu tahun 1955. Sebagian kalangan itu memahami bahwa umat Islam sedianya tidak begitu saja meniru apa-apa dari luar Islam. Mereka menghendaki semua berpulang pada Al-Quran dan Sunah. Mengembalikan konteks kepada teks.

Namun, seperti ada yang luput dari perhatian mereka, bahwa “Bahasa dakwah”, subjektifikasi teks itu tidak efektif menjadi bahasa politik. Terbukti, umat Islam selalu kalah bersaing, baik dalam berpolitik praktis maupun dalam intellectual war.

Bak juklak dan juknis, Kuntowijoyo merumuskan kepentingan politik umat Islam itu terdiri tiga perkara. Pertama, moralitas publik dan politik, yaitu sabilillah, jalan Tuhan.

Kedua, perubahan struktur, bukan perubahan sistem, yaitu sabilil mustadh’afin, jalan kuam mustadh’afin. Sejak zaman SI, Tjokroaminoto  sudah berteriak, “Islam adalah agama orang miskin dan orang tertindas.” Dan ketiga, mekanisme politik yang baik: demokrasi, HAM, rule of law, dan civil society

Berpegang tiga perkara itu, kita akan bisa berpikir tentang substansi di balik peristiwa, bukan aksiden di permukaan. Kita tidak lagi gelisah dan gampang terpukau kepada peristiwa-peristiwa permukaan yang tampak gebyar, menggembirakan dan penuh harapan.

Kita akan bekerja sesuai dengan teori, strategi, dan metode yang lurus. Pendek kata, umat mampu menempatkan Islam sebagai ilmu, bukan sebagai ideologi.

Islam sebagai ilmu bergerak dari teks ke konteks, sedangkan Islam sebagai ideologi sebaliknya, menarik konteks ke teks. Islam sebagai ilmu merupakan upaya deideologisasi. Dan, perlu dicatat bahwa deideologisasi ini bukan deislamisasi.

Deideologisasi juga berarti Islam inklusif. Karena, Ketika jadi ideologi, Islam bersifat tertutup, bersifat ekslusif. Umat tidak berpikir untuk menganggap orang non-Islam sebagai saudara. Tidak biasa berpikir bahwa persoalan kenegaraan, kebangsaan adalah persoalan bersama yang lintas agama. Tidak mau berpikir bahwa rahmat untuk semua.

Maka, kebiasaan cara berpikir “kita melawan mereka” harus diganti “we versus it”. “It” itu adalah kemiskinan, dan kesenjangan. “It” di situ adalah upaya demokratisasi yang tiada ujung, yang terus maju. Dan, “it” ini adalah permasalahan, problematika bangsa.