Barisan.co – Kemiskinan telah menjadi topik utama dalam wacana internasional selama beberapa dekade. Baik dalam perspektif akademis, perspektif kebijakan ekonomi negara, maupun upaya bantuan lembaga internasional. Bahkan, menjadi komitmen bersama secara global untuk diatasi.
Dinyatakan secara jelas ketika Millennium Development Goals (MDGs) masih popular hingga berakhir pada tahun 2015. Komitmen dilanjutkan dan dikembangkan lagi dalam Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai agenda pembangunan universal yang telah disepakati dan diimplementasikan oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Agenda SDGs memiliki cakupan amat luas, meliputi dimensi pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan yang komprehensif serta saling terkait antara satu dengan yang lain. Tergambar pada berbagai indikator yang ada di dalamnya. Mencakup masalah sosial, hak asasi manusia, akses terhadap sumber daya, lingkungan, masalah keadilan dan gender.
Prinsip atau aspirasi pelaksanaan SDGs dikenal dengan istilah 5 P yaitu: People, Planet, Prosperity, Peace dan Partnership. Pada prinsip People (Manusia), SDGs bertekad untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, dalam segala bentuk dan dimensinya, dan untuk memastikan bahwa semua manusia dapat memenuhi potensi mereka dengan bermartabat dan setara serta dalam lingkungan yang sehat.
MDGs dan SDGs sebenarnya merekomendasikan berbagai indikator yang komprehensif untuk melihat kemajuan dalam upaya mengatasi kemiskinan. Namun yang masih sering menjadi wacana adalah indikator sederhana. Indikator yang menggambarkan seberapa banyak orang yang termasuk miskin jika dilihat dari garis batas tertentu. Serupa dengan garis kemiskinan dari BPS yang telah dibicarakan pada tulisan bagian terdahulu. Dapat dihitung persentasenya atas total penduduk (head count ratio).
Garis kemiskinan yang banyak dipakai dalam perbandingan antarnegara adalah ukuran dari Bank Dunia. Dahulu yang paling popular adalah ukuran kemiskinan absolut berupa pengeluaran sebesar US$1,90 per kapita per hari. Ukuran yang sebenarnya diperuntukkan bagi negara-negara miskin (low income countries) dalam klasifikasi Bank Dunia.
Pemahaman akan perbedaan “taraf hidup” sosial ekonomi secara umum dari negara yang berbeda jauh tingkat pendapatan rata-rata per kapitanya, membuat Bank Dunia memberi tiga ukuran garis kemiskinan. Bagi negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income countries) dipakai ukuran US$3,20 per kapita per hari. Sedangkan bagi negara-negara berpendapatan menengah atas (upper middle income countries) dipakai ukuran US$5,50 per kapita per hari.
Dalam ukuran tersebut, Bank Dunia tidak menerapkan kurs pasar ataupun resmi dari negara yang bersangkutan. Melainkan kurs yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). PPP dianggap mencerminkan tingkat inflasi dan perbandingan nilai tukar secara riil.
Jika membandingkan dolar AS dan rupiah dalam perspektif PPP, maka yang ingin diketahui adalah daya beli relatif kedua mata uang atas sejumlah barang dan jasa. Menunjukkan berapa rupiah yang diperlukan di Indonesia untuk membeli barang dan jasa (dengan jenis dan jumlah yang sama) yang dapat dibeli dengan harga 1 dolar di Amerika Serikat.
PPP sendiri disusun berupa indeksasi atas kondisi banyak negara serta memiliki tahun dasar (baseline) tertentu. Baru-baru ini, Bank Dunia telah menetapkan kurs PPP berdasar tahun 2017. Namun data perbandingan yang lebih lengkap yang dipublikasikan, masih PPP tahun dasar 2011.
Perlu diketahui, publikasi Bank Dunia mengenai jumlah penduduk miskin Indonesia dengan ukuran itu tetap berdasar data mentah dari BPS. Hanya garisnya yang diubah sesuai perhitungan dengan batas garis dan kurs PPP pada masing-masing tahun.