Soalan defisit BI sejauh ini tidak terlampau mengkhawatirkan, antara lain karena nilainya masih cukup terkendali. BI juga mengatakan partisipasinya berupa kontribusi atas seluruh biaya bunga untuk pembiayaan vaksinasi dan penanganan kesehatan akan sesuai kemampuannya. Maksimum Rp58 triliun pada tahun 2021 dan Rp40 triliun pada tahun 2022.
Bagaimanapun, kepemilikan BI atas SBN meningkat pesat. Selain melalui pasar perdana, BI masih aktif dalam jual beli di pasar sekunder. Khusus SBN domestik diperdagangkan, kepemilikan BI telah mencapai Rp1.220,73 triliun atau 26,09% dari totalnya per 31 Desember 2021. Posisinya hanya Rp262,49 triliun atau 9,93 % per 31 Desember 2019.
Pada tahun 2020, penyerapan SBN domestik secara neto oleh BI mencapai Rp601,67 triliun atau 54%. Sebesar Rp345,85 triliun atau 42,79% pada tahun 2021. Jika kondisi pasar cukup baik, diprakirakan BI masih harus menambah kepemilikannya sekitar Rp300 triliun.
Laporan Tahunan Bank Indonesia (LTBI) 2021 yang dirilis pada 26 Januari 2022 tidak cukup banyak menjelaskan soalan kebijakan membantu pembiayaan APBN. Dalam dokumen setebal 180 halaman itu hanya diinformasikan tentang nilainya dan dua paragraf penjelasan. Padahal, banyak hal lain dijelaskan secara cukup rinci, seperti: pelaksanaan tugas-tugas, capaian kinerja, dan arah kebijakan tahun 2022.
Bank Indonesia dalam LTBI 2021 seolah menyikapinya sebagai kebijakan filantropis. Antara lain dinyatakan, “…Bank Indonesia terpanggil untuk berpartisipasi dalam langkah-langkah bersama untuk penanganan kesehatan dan penyelamatan kemanusiaan akibat virus Covid-19 varian Delta, sebagai tugas negara, kemanusiaan, kesehatan, dan keamanan rakyat. Partisipasi dilakukan dengan memperkuat peran Bank Indonesia untuk pendanaan APBN 2021 dan 2022 melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) …”
LTBI 2021 secara umum bernuansa keyakinan BI tentang prospek ekonomi Indonesia yang makin membaik dan stabilitas perekonomian yang tetap terjaga pada tahun 2022. Dijelaskan tentang bauran kebijakan akan dilakukan perhitungan matang, perencanaan seksama, dan komunikasi yang jelas.
Bauran dimaksud terdiri dari lima instrumen kebijakan. Yaitu: (i) kebijakan moneter, (ii) kebijakan makroprudensial, (iii) digitalisasi sistem pembayaran, (iv) pendalaman pasar uang, serta (v) ekonomi-keuangan inklusif dan hijau. Soalan bantuan pembiayaan APBN tidak disebut-sebut dalam konteks ini.
Penulis berpandangan BI sendiri tidak mengakui pemberian utang kepada Pemerintah, terutama membeli SBN di pasar perdana, sebagai pelaksanaan tugasnya. Undang-Undang tentang BI dan juga tentang keuangan negara memang tidak mengaturnya. Kebijakan tersebut jelas bersifat darurat berdasar UU No.2/2020.
Padahal, dampaknya telah sangat besar pada kondisi APBN dan perekonomian saat ini hingga tahun-tahun mendatang. BI seharusnya memberi penjelasan yang lebih terinci kepada publik. [dmr]