Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Menghayati Khumul

Redaksi
×

Menghayati Khumul

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Sungguh tepat dikatakan al-Hikam merupakan kitab sepanjang masa. Untaian hikmah yang tak lekang oleh waktu. Malahan serasa sangat menemu momentum, di mana hari-hari ini kita hidup di tengah tradisi digital. Semua serba terbuka, serba ingin menonjol, serba terkenal.

Syekh Ibnu ‘Athaillah mewejang “Idfin wujudaka fi ardlil khumul, tanamlah dirimu di bumi ketidakterkenalan.”

Jelas berseberangan, dan itulah yang menarik. Dewasa ini arus media sosial mengandaikan semua pengguna berlomba-lomba menampakkan diri. Berkejaran untuk menjadi yang terkenal. Dan akan tampak aneh, bermedia sosial kok menampik kepopuleran.

Namun, sebaliknya, sang syekh dari Iskandariah, Mesir, jauh-jauh hari mewanti para pejalan agar menjauhi popularitas. Misal telanjur terkenal, pun harus tetap merendah hati. Menjaga jarak dari kemasyhuran. Dengan begitu, sang penempuh akan mendapatkan keikhlasan. Sebab, betapa tiada arti sebuah amal perbuatan yang tak disertai sifat ikhlas, tulus. Intinya, untuk meraih kebaikan mesti ditempuh dengan cara mengubur diri.

Syekh Fadhlalla Haeri, dalam syarahnya untuk mutiara al-Hikam itu, menjelaskan, hanya amal yang didasarkan pada penghambaan yang rendah hati dan persembahan di jalan-Nya-lah yang bisa menghasilkan buah dan keterbebasan dari kepalsuan. Bila kita menginginkan nama baik atau penghargaan dari publik, ibarat buah justru akan berasa asam dan malahan busuk, karena watak dunia tidak ada yang abadi, gampang bosan.

Singkatnya Syekh Ibnu ‘Athaillah menuntut kita untuk bisa menyepi. Beliau menggambarkan “Famaa nabata mimmaa lam yudfan laa yatimmu nitaajuhu, sebab tiap sesuatu yang tumbuh tidak ditanam, tidak sempurna buahnya.”

Mengutip Syekh Syarqawi, sesuatu yang tidak ditanam dalam-dalam hanya akan tumbuh lemah, ringkih, dan akhirnya kurang manfaat. Maka kemudian, jika kita masih saja suka mencari-cari popularitas, jangan harap akan dapat hasil akhir yang memuaskan. Sebab sepanjang itu yang kita lakukan, hakikatnya kita menjadi budak popularitas, budak kemasyhuran.

Nah, betapa merugi sekira yang kita kerjakan hanya terbatas mengejar keterkenalan, bukan kedalaman nilai, bukan kedalaman penghayatan diri. Sebab, apa pun argumennya, keterkenalan itu tetaplah permukaan, tetap dangkal yang hanya tampak mengemuka di mata orang lain, yang acap bukan sesungguhnya diri.

Sungguh, untaian hikmah yang tak lekang oleh waktu, bukan! Terlebih di masa digital, sebegitu gampang meraup pundi dan kemasyhuran. Kita mudah memikat pembaca untuk menyetujui opini, tanpa protes, tanpa verifikasi.

Dan kita menikmati kondisi demikian, padahal Syekh Ibnu ‘Athaillah mengandaikan kita sedini mungkin harus mengentaskan diri dari kubang kekonyolan. Kita kudu mengubah diri, menarik diri, dan lantas menenggelamkan diri dari upaya-upaya fetisisme.

Sejarah mencatat, yang gampang mencuat ke ketinggian tangga popularitas, gampang pula surut dari peredaran. Ada dai yang mendadak terkenal, tapi tak butuh waktu lama ia pun tenggelam, bahkan tervonis busuk.

Ada motivator kondang, kata-katanya sedemikian menyihir dan melenakan, tapi lagi-lagi gampang surut, bahkan kini serasa tak satu pun orang bersedia mendengar petuahnya. Ya, publik berasa kejam, akhirnya. Tapi bagaimana lagi, memang demikian hukum media sosial, hukum digital. Naik-turun apa dan siapa sedemikian cepat, dan kerap tak terduga.

Oleh karena itu, sekiranya bisa sedikit menahan diri, mendalami hikmah idfin wujudaka fi ardlil khumul, niscaya selamat. Kita berendah diri untuk tidak buru-buru terkenal. Menggembleng diri untuk tidak gampangan tersorot oleh orang lain, singkat kata bersedia menghayati khumul.