Bagaimana detail rencana bisnis TOD memang masih rahasia. Namun kita dapat mengutip bos KCIC ketika diwawancara oleh jurnalis Katadata. Menurut keterangannya, porsi pendapatan dari properti dan pendapatan non-tiket lainnya (non-farebox revenue) direncanakan 1%. Pada skenario 60 ribu penumpang per hari, pendapatan properti dan lain-lain tersebut bisa mencapai Rp 152 miliar per tahun pada level matang. Ini tentu tidak langsung terjadi pada tahun pertama.
Tambahan pendapatan properti tersebut sebenarnya tetap belum mampu mendongkrak kelayakan proyek Kereta Cepat. Rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) dengan adanya tambahan pemasukan TOD tersebut masih di 0,618, tidak jauh beda ketika skenario murni tarif (yakni 0,613)! Apalagi jika mempertimbangkan bahwa berbagai pemasukan, baik tiket maupun properti, tidak langsung berada pada level matang di awal tahun.
Maka memang sulit sebenarnya untuk mencari justifikasi megaproyek tersebut. Apalagi perkembangan terakhir, stasiunnya tidak menjangkau Kota Bandung, spot yang tepat untuk menggaet penumpang. Konstruksinya pun dihinggapi segudang masalah hingga pembengkakan biaya. Untuk menolongnya, negara telah menyuntik modal Rp 4,3 triliun. Nilai yang sebenarnya bisa digunakan pada proyek atau program yang lebih bermanfaat. Dan pada skenario optimis, sudah kita lihat, keekonomiannya tetap tidak ‘tertolong’.
Walhasil, sebenarnya ada problem dalam penyelenggaraan infrastruktur. Berbagai megaproyek digarap namun terkesan hanya buat gagah-gagahan saja. Soal kereta cepat, penulis teringat cerita tentang “Proyek Machiavelli” sebuah narasi yang diperkenalkan oleh Flyfbjerg, pakar ekonomi infrastruktur. Pada banyak kesempatan, studi kelayakan bisa jadi tidak murni berangkat dari keilmuan yang tulus.
Ada ambisi politik yang lebih menentukan keputusan. Soal jor-joran infrastruktur hari-hari ini, media asing, Nikkei Asia, dalam kolomnya pada September 2020 menyebut: there was no proper analysis of which infrastructure projects would boost growth and productivity the most. Wallahua’lam.
—
Referensi:
Flyvbjerg, B. (2005). Machiavellian megaprojects. Antipode, 37(1), 18-22.
Emil Salim kecewa https://www.cnbcindonesia.com/news/20211228110142-4-302586/emil-salim-kritik-proyek-kereta-cepat-jkt-bdg-saya-kecewa
KCIC – Transit Oriented Development https://kcic.co.id/en/proyek/pengembangan-berorientasi-transit/
Kemenhub target kereta cepat https://www.idxchannel.com/economics/kemenhub-pastikan-kereta-cepat-jakarta-bandung-belum-bisa-beroperasi-tahun-ini
Nikkei Asia soal pembangunan era Jokowi
https://asia.nikkei.com/Spotlight/The-Big-Story/Dream-state-Jokowi-struggles-to-build-his-vision-for-Indonesia
Pendapatan properti 1% https://katadata.co.id/rezzaaji/indepth/61f666b5eb533/kami-tunda-pengembangan-tod-fokus-selesaikan-konstruksi-kereta-cepat
Studi ITB dan konsultan China
https://www.youtube.com/watch?v=VgyTHVVFw8A
Studi UI
https://www.cnbcindonesia.com/news/20220212210536-4-314961/ibu-kota-pindah-tak-ngaruh-banyak-ke-proyek-kereta-cepat