Scroll untuk baca artikel
Kolom

Menyoal Lagi Kelayakan Kereta Cepat

Redaksi
×

Menyoal Lagi Kelayakan Kereta Cepat

Sebarkan artikel ini
Menyoal Lagi Kelayakan Kereta Cepat

Jika dilakukan demikian, ternyata sampai 100 tahun belum balik modal! Dan hitung-hitungan barusan tentu belum memasukkan biaya operasi dan pemeliharaan. Pada hitungan yang lain, dimana terjadi kenaikan harga tiket di masa depan akibat inflasi, hasilnya pun tidak jauh berbeda.

Maka pada titik ini, Proyek Kereta Cepat jelas tidak layak. Namun ternyata KCIC bukan cuma menggarap bisnis transportasi saja.

Ada juga bisnis properti yang dikemas dalam bungkus “Transit Oriented Development” (TOD), sebuah konsep pengembangan yang berporos pada aktivitas “transit”.

Info sekadarnya mengenai bisnis TOD tersebut dapat dilihat di situs KCIC. Lokasi rencana TOD disebut ada empat: Halim, Kotawana, Walini, dan Talaga Luar. Di situs, diperlihatkan info luas area hingga gross floor area (GFA).

Hanya lokasi Walini saja yang tidak tampil infonya. Dari tiga lokasi yang ada datanya, terdapat total 609,2 hektar area pengembangan.

Bagaimana detail rencana bisnis TOD memang masih rahasia. Namun kita dapat mengutip bos KCIC ketika diwawancara oleh jurnalis Katadata.

Menurut keterangannya, porsi pendapatan dari properti dan pendapatan non-tiket lainnya (non-farebox revenue) direncanakan 1%. Pada skenario 60 ribu penumpang per hari, pendapatan properti dan lain-lain tersebut bisa mencapai Rp 152 miliar per tahun pada level matang. Ini tentu tidak langsung terjadi pada tahun pertama.

Tambahan pendapatan properti tersebut sebenarnya tetap belum mampu mendongkrak kelayakan proyek Kereta Cepat. Rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) dengan adanya tambahan pemasukan TOD tersebut masih di 0,618, tidak jauh beda ketika skenario murni tarif (yakni 0,613)!

Apalagi jika mempertimbangkan bahwa berbagai pemasukan, baik tiket maupun properti, tidak langsung berada pada level matang di awal tahun.

Maka memang sulit sebenarnya untuk mencari justifikasi megaproyek tersebut. Apalagi perkembangan terakhir, stasiunnya tidak menjangkau Kota Bandung, spot yang tepat untuk menggaet penumpang. Konstruksinya pun dihinggapi segudang masalah hingga pembengkakan biaya.

Untuk menolongnya, negara telah menyuntik modal Rp 4,3 triliun. Nilai yang sebenarnya bisa digunakan pada proyek atau program yang lebih bermanfaat. Dan pada skenario optimis, sudah kita lihat, keekonomiannya tetap tidak ‘tertolong’.

Walhasil, sebenarnya ada problem dalam penyelenggaraan infrastruktur. Berbagai megaproyek digarap namun terkesan hanya buat gagah-gagahan saja. Soal kereta cepat, penulis teringat cerita tentang “Proyek Machiavelli” sebuah narasi yang diperkenalkan oleh Flyfbjerg, pakar ekonomi infrastruktur. Pada banyak kesempatan, studi kelayakan bisa jadi tidak murni berangkat dari keilmuan yang tulus.