Scroll untuk baca artikel
Blog

Nakula Menjadi Entitas Peradaban – Cerpen Vito Prasetyo

Redaksi
×

Nakula Menjadi Entitas Peradaban – Cerpen Vito Prasetyo

Sebarkan artikel ini

Entah kapan, kondisi yang dialami seperti saat ini, menjadi sebuah cerita sejarah. Dimana-mana orang menjadi lakon hidup, seakan kita membaca nukilan cerita wayang yang dimainkan oleh para dewa. Masa dimana sebuah peradaban yang melahirkan berbagai versi cerita, sebuah cerita fiksi yang tersusun alur tokoh, protagonis dan antagonis, dan dibumbui kisah asmara, sehingga menjadi rebutan “para dewi” karena ketampanannya bahkan melebihi saudara kembarnya, Sadewa. Cerita wayang ini menjadikan inspirasi manusia untuk memanifestasikan pikirannya dalam perubahan-perubahan zaman.

Apakah Nakula mampu menjadi tokoh “jika” seandainya ia adalah makhluk dengan entitas manusia yang betul-betul nyata? Maka pandemi covid-19 sebagai “tokoh antagonis” yang bermusuhan dengan kekuatan pikiran manusia, yang mungkin sudah pada batas berlebihan. Sementara manusia terus mengejar tantangan zaman, membangun dinasti kapitalis, berpikir “kedewaan” yang ingin meng-esa-kan pikirannya dengan sumber segala sumber ilmu di dunia.

   “Nakula, saya punya ide.”

   “Ide apa itu Sadewa?”

   “Bagaimana, kita buat dunia baru, kehidupan baru seperti di bumi?”

   “Khayalanmu tidak masuk akal, saudaraku.”

   “Kenapa begitu!?”

   “Yang betul, kita buat cerita baru, sebuah perang antara akal dan hati manusia.”

   “Wah, itu bisa membunuh karakter manusia.”

   “Tidak, karena cerita itu kita mainkan dalam lakon wayang.”

Anggap saja Nakula itu kembali dimainkan dalam kehidupan sekarang, kemudian kisah Perang Baratayudha dihidupkan dalam versi terkini, yang berada pada zaman nalar dan kontemplasi manusia sebagai pengendali putaran masa. Tetap saja manusia tidak akan mungkin mampu menghindar dari keterbatasannya sebagai manusia. Artinya, pikiran manusia tidak lagi dibutuhkan oleh Tuhan, karena melanggar aturan yang telah digariskan oleh Tuhan.

Kita, pada strata masyarakat bawah, dengan kasat mata kita, tentu hanya boleh sebagai penonton yang tengah meraba-raba sebuah situasi dan kondisi. Karena pergantian tahun yang tentunya  juga terjadi perubahan musim, maka muncul varietas baru akibat adanya mutasi gen pada virus. Karena ini “mungkin” sudah jadi peradaban baru, rasa kecurigaan kita dibiarkan terus berbenturan dengan entitas baru, apakah pelaku adalah Nakula yang juga masih berbaju kapitalis. Maka kemudian, dengan pikiran bijak kita harus membuang jauh-jauh asumsi yang tidak sejalan dengan hakiki agama.

   “Nakula ternyata sulit juga membaca peradaban.”

   “Maksud kamu, karena manusia sudah dikepung pandemi yang disebut virus covid itu?”

   “Entah, mungkin juga begitu.karena sebuah cerita pasti akan berakhir. Entah kapan.”

Manusia mungkin bisa memerankan dirinya seperti Nakula, tetapi metafisik alam telah memberi pelajaran berharga kepada manusia. Ada keterbatasan manusia, yang tak mampu dihitungnya dengan kalkulasi menghidupkan jiwa. Bahkan raganya bisa berarti karena ada jiwa yang menghidupkan. Simbolisme “entah” inilah yang mendudukkan manusia pada tempatnya. Pada entitasnya sebagai manusia. Dan pandemi Covid-19 diibaratkan seperti kursi rapuh yang didudukinya. Satu saat akan patah, dan itulah sebuah ujian atau cobaan.

Sebuah dimensi baru, meski sulit dijadikan alibi pembenaran, apakah negara super power seperti Amerika Serikat mampu menciptakan Nakula-Nakula baru hingga warganya bisa terhindar dari serangan wabah Covid-19? Imajinasi yang kuat dalam pengembangan teknologi modern adalah kumpulan titik nalar yang bermuara pada kekuatan dan kekuasaan. Tetapi ini akan kembali pada kontemplasi ruang yang terbatas dalam pikiran manusia. Manusia mungkin kuat dalam mempolitisasi pikirannya, tetapi pandemi Covid-19 bisa jadi karena keteledoran pikiran manusia (keterbatasan) dalam penentangan terhadap alam (ciptaan Tuhan).