“Kalau menurutku itu hanyalah teknik marketing Cak Kun saja supaya orang percaya kalau dia adalah wali. Dan yang jelas untuk menambah ini,” jawab Muntadi sambil menyentuhkan ibu jari dan telunjuknya sembari digerak-gerakkan. Mendengar jawaban Muntadi tak ayal lagi semua pengunjung warung Mak Yah tertawa terbahak-bahak. Lelaki jebolan universitas ternama itu memang terkenal pintar mengolah kata-kata. Dan saking pintarnya beberapa orang justeru menjuluki Muntadi dengan julukan pinter tur keblinger.
“Apapun alasannya Aku tidak akan terima kalau Pak kades kita yang visioner ini disamakan dengan Gendruwo. Memangnya Cak Kun selama ini bisa berbuat apa untuk kemajuan desa kita ini,” tukas Muntadi sambill menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar Jahe Susu dan Limpang-limpun serta Onde-onde yang sudah diembatnya. Lelaki itupun lalu ngeloyor pergi ke arah stasiun. Mungkin ke rumah Ali Kabal teman akrabnya. Sepeninggal Muntadi, di warung Mak Yah Mahmud, Sukir, Kadir dan Supar melanjutkan acara ndopoknya.
Sudah hampir sepekan lebih Desa Jetis mendadak dilanda kegaduhan. Pasalnya Cak Kun yang selama ini dikenal sebagai wali itu mendadak seperti orang kesurupan. Lelaki yang memiliki suara sangat merdu itu tiba-tiba berlarian ke sana ke mari di tengah ramainya pasar. Mulutnya tak henti-hentinya berteriak-teriak menyebut kalau Pak Kades adalah Gendruwo.
Pak Carik sebagai Sengkuni dan Mas Toton sebagai Babi Ngepet. Spontan siang itu pasar seperti diobok-obok oleh ucapan Cak Kun. Ada yang langsung menganggap kalau Cak Kun gila. Ada yang tak peduli. Ada pula yang menganggap wajar-wajar saja. “Namanya juga wali, ya bebas saja tho, kata sebagian yang lain.” Dan tak ayal lagi Cak Kunpun segera diamankan oleh Hansip .
Keesokan harinya puluhan orang tak dikenal datang untuk melempari rumah Cak Kun dengan batu dan telur busuk. Mereka tidak hanya mengatai Cak Kun sebagai orang gila tetapi juga menantang Cak Kun untuk membuktikan kebenaran omongannya tersebut. Rumah yang sebelumnya sudah sempoyongan itu kini terlihat semakin loyo. Kabarnya mereka adalah orang-orang yang merasa harus menjaga wibawa desa Jetis yang sudah dikoyak-koyak oleh Cak Kun.
Hari berikutnya pengajian rutin di rumah Cak Kun sepi. Tak satupun warga desa Jetis berani hadir. Selain takut dikait-kaitkan dengan perilaku Cak Kun yang tiba-tiba ganjil, sebagian yang lain juga merasa sudah tidak cocok lagi dengan Cak Kun. Terus terang mereka mungkin kecewa. Menurut mereka semestinya Cak Kun tidak berkata seterangbenderang seperti itu meski faktanya memang demikian. Hanya beberapa orang saja yang berani nongol. Itupun setelah lewat tengah malam.