Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Dua)

Redaksi
×

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Dua)

Sebarkan artikel ini

“Kasihan Mi, wajah temanku sedih dan kelihatan susah banget. Padahal dia sudah belajar sungguh-sungguh.”  Saya hanya bisa berkomentar, “Kasihan. Semoga dia baik-baik saja”. 

*******

Bagi keluarga kami dengan empat anak yang selisih umurnya rata-rata dua tahun, perlu tambahan kaidah lain dalam pendampingan. Yakni, sikap tidak membandingkan anak satu dengan anak yang lain.  Hal itu tidak mudah dan memerlukan perhatian lebih serius, ketika kakak-kakaknya lebih dulu berprestasi.

Ketika beberapa anak masih pra sekolah dan duduk di bangku SD, saya tidak mau memajang piala dan medali-medali penghargaan yang diperoleh Ira dan kemudian Adli. Saya taruh di pojok pintu kamar tidur anak laki-laki, yang jika pintunya tidak ditutup, semua tidak terlihat. Kebetulan mereka jarang sekali menutup pintu, sekalipun sedang tidur.

Bahkan kemudian, sebagian diletakan di bawah ranjang tempat tidur. Tidak sedikit yang kotor atau berdebu, patah, dan rusak. Kebetulan, jumlahnya makin banyak seiring dengan berkembangnya usia semua anak. 

Piala dan penghargaan itu baru kemudian ditata atas permintaan neneknya untuk kesekian kalinya ketika bertamu dari Kalimantan selama beberapa minggu. Semula beliau hanya melihat yang dibalik pintu. Ketika beliau mulai menata di rak ruang tamu, baru diberitahu ada lagi yang di kolong tempat tidur.

Nenek membersihkan semua piala, medali dan pernghargaan sambil membaca penghargaan apa yang tertera di situ. Melihat ekspresi bangga seorang nenek pada cucu-cucunya, ditambah semua anak sudah memiliki prestasi dan penghargaan, saya biarkan saja. Ketika kami pindah rumah, saya tetap memajang kembali, namun tidak di ruang tamu dan tak terlampau menyolok.

Menjaga perasaan anak membuat saya jarang sekali menjemput Akram, anak bungsu ketika SD. Ada pengalaman yang kurang menyenangkan buat saya. Sesuai dengan urutan waktu pulang saat itu, saya menjemput Aya dulu di sekolahnya, baru menjemput Akram.

Di tengah ramainya murid-murid SD yang hendak pulang dan sedang bermain di jam istirahatnya, ada seorang guru yang menyapa kami.  “Menjemput siapa, bu?” “Akram” jawab saya sambil menyuruh Aya dan Akram menyalaminya.

“Oooh, Ira dan Adli masih punya adik yang bersekolah di sini?” Saya sahuti “Iya, bu. Akram baru masuk kelas 1.” Melihat Aya yang tidak bersekolah di situ, dia bertanya, “Aya ini kelas berapa?” Ketika dijawab kelas 5 oleh Aya, guru itu bertanya kepada saya, “Bagaimana prestasi adiknya Ira dan Adli ini?” 

Saya sempat khawatir dengan perasaan Aya. Saya pun segera menjawab,”Minatnya berbeda, lebih cenderung ke bidang seni. Aya lebih pintar menggambar daripada kakak-kakaknya dan sedang tertarik ke musik.” Untunglah ibu guru tidak memperpanjang pembicaraan tentang hal ini.

Anak-anak saya cukup sensitif jika dibanding-bandingkan. Adik-adiknya sering berpesan “Ummi, di sekolah jangan bilang-bilang kalau aku adiknya mbak Ira, yaa.” Saya mengerti bahwa mereka ingin dikenal sebagai pribadi tersendiri. Saya penuhi permintaan mereka tidak pernah menyebut nama Ira di depan guru maupun teman-temannya.

Tentu saja hal ini tidak bisa ditutupi selamanya. Ketika Aya ikut kegiatan pembinaan Olimpiade  Biologi, ada guru pembina yang kenal keluaraga kami dan bahkan sering bercerita untuk motivasi ke anak-anak yang lain. Beruntung pada saat itu, Aya sudah punya minat dan prestasi sendiri. Saya tidak khawatir lagi akan soal identitas dan kepercayaan dirinya.

Keberuntungan bagi keluarga kami, semua anak punya prestasi di bidang sains. Namun, tetap saja saya dan suami berupaya tidak membandingkan antar mereka. Saya menyadari bahwa orang tua dengan beberapa anak yang berbeda prestasinya perlu lebih berhati-hati mendampingi mereka. [rif]