Scroll untuk baca artikel
Kisah Umi Ety

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Dua)

Redaksi
×

Orang Tua Sebagai Pendamping Anak (Bagian Dua)

Sebarkan artikel ini

Ira tampaknya melakukan semua itu. Pada ulangan ke 2 dia mempeoleh nilai 8. Belum termasuk yang tertinggi, namun ada kesempatan untuk memberi apresiasi dengan memuji. Saya katakan, “Alhamdulillah, ternyata Ira bisa mengerti pelajaran bahasa Jawa.”

Hal serupa terjadi juga halnya dengan Adli, yang bersekolah di SD yang sama. Namun, reaksinya berbeda, tidak terlihat sedih seperti kakaknya. Saya pun menyampaikan hal yang sama. Dia memang mencoba belajar, tetapi hasilnya tak sebagus Ira dahulu. Hanya ada sedikit peningkatan  nilainya 3, 4, 5 dan tertinggi 6.

Tetapi saya memutuskan untuk tidak memaksanya untuk belajar lebih keras hal yang tak disukai. Dalam beberapa kesempatan saya hanya mengingatkan untuk mencoba lebih baik. Sembari tetap mengatakan bahwa yang penting bukan lah nilai, melainkan telah berusaha sebaik-baiknya. 

Sikap tak mementingkan hasil dan lebih menghargai usaha dari kami memiliki dampak positif yang lain. Aya, anak ketiga kami, bercerita dengan nada berterima kasih karena melihat kejadian seorang temannya di SMA. Kawannya itu seperti enggan pulang dari sekolah, takut dimarahi orangtuanya karena nilai tes yang jelek.

“Kasihan Mi, wajah temanku sedih dan kelihatan susah banget. Padahal dia sudah belajar sungguh-sungguh.”  Saya hanya bisa berkomentar, “Kasihan. Semoga dia baik-baik saja”. 

*******

Bagi keluarga kami dengan empat anak yang selisih umurnya rata-rata dua tahun, perlu tambahan kaidah lain dalam pendampingan. Yakni, sikap tidak membandingkan anak satu dengan anak yang lain.  Hal itu tidak mudah dan memerlukan perhatian lebih serius, ketika kakak-kakaknya lebih dulu berprestasi.

Ketika beberapa anak masih pra sekolah dan duduk di bangku SD, saya tidak mau memajang piala dan medali-medali penghargaan yang diperoleh Ira dan kemudian Adli. Saya taruh di pojok pintu kamar tidur anak laki-laki, yang jika pintunya tidak ditutup, semua tidak terlihat. Kebetulan mereka jarang sekali menutup pintu, sekalipun sedang tidur.

Bahkan kemudian, sebagian diletakan di bawah ranjang tempat tidur. Tidak sedikit yang kotor atau berdebu, patah, dan rusak. Kebetulan, jumlahnya makin banyak seiring dengan berkembangnya usia semua anak. 

Piala dan penghargaan itu baru kemudian ditata atas permintaan neneknya untuk kesekian kalinya ketika bertamu dari Kalimantan selama beberapa minggu. Semula beliau hanya melihat yang dibalik pintu. Ketika beliau mulai menata di rak ruang tamu, baru diberitahu ada lagi yang di kolong tempat tidur.

Nenek membersihkan semua piala, medali dan pernghargaan sambil membaca penghargaan apa yang tertera di situ. Melihat ekspresi bangga seorang nenek pada cucu-cucunya, ditambah semua anak sudah memiliki prestasi dan penghargaan, saya biarkan saja. Ketika kami pindah rumah, saya tetap memajang kembali, namun tidak di ruang tamu dan tak terlampau menyolok.