Tidak sulit memahami mengapa banyak orang berpendapat UU ITE patut ditanggalkan. Gara-gara UU ini, demokrasi kita jatuh dalam kultur yang nista. Sebagian besar orang menjadi takut berpendapat. Segelintir lainnya sibuk saling lapor karena mengedepankan rasa tersinggung.
Jika yang tersinggung adalah orang-orang previleged yang cukup duit dan banyak kenalan (syukur-syukur punya jabatan), maka UU ITE adalah pilihan praktis, dan legal! Mereka tak perlu repot mencari penyelesaian out of court settlement untuk memangkas ketersinggunggannya. Tinggal lapor, beres, dan mekanisme hukum akan melakukan sisanya.
Anda melihat keganjilan pejabat publik kita belakangan ini? Anda jeli. Faktanya, seperti terungkap dalam penelitian ICJR, sejak 2018 pejabat publik adalah kelompok yang paling sering lopar-lapor. Sebanyak 35,9% pelapor adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat publik lainnya.
Selain kelompok pejabat publik, UU ITE juga dimanfaatkan kelompok masyarakat sipil. Kelompok ini menyumbang 32,2% dari proporsi total. Tapi, kita tahu ada kecenderungan bahwa kelompok masyarakat sipil ini adalah kepanjangan tangan kelompok pejabat publik atas perkara defamasi yang menimpa pejabat publik.
Pejabat publik kita agaknya memang sulit dipahami. Mereka-mereka ini, ternyata, lebih sensitif dari yang orang pikirkan, terutama kalau sudah menyangkut nama baiknya. Laporan tentang pencemaran nama baik, Anda tahu, menempati posisi teratas dalam pelaksanaan UU ITE. Disusul ujaran kebencian, kesusilaan, dan hoaks.
Melampaui UU ITE
Hari ini, persoalan sebenarnya bukanlah semata membayangkan masa depan praktis tanpa UU ITE, tetapi merengkuh cara-cara menuju ke sana dengan usaha yang lebih paradigmatis. Artinya, penting untuk mencari akar masalah dari apa yang kita sebut pencemaran nama dan ujaran kebencian, yang terkandung dalam UU ini.
Saya setuju dengan sebuah pendapat di internet: “Demokrasi mengisyaratkan keberanian untuk mengkritik dan mendengar kritik. Tanpa syarat. Tanpa ancaman. Tanpa rasa takut.” Saya lupa sumbernya, tapi pendapat ini tentu saja semakin relevan dikaitkan pejabat publik.
Sebab dari kecenderungan sekarang kita dapat menyimpulkan bahwa, pejabat publik kita adalah biang masalah. Pada dasarnya mereka merupakan jenis manusia yang lebih senang menonjolkan sisi ‘pejabatnya’ dibanding ‘publiknya’.
Para pejabat mengira, masyarakat yang melayangkan kritik artinya sedang menggoyang status kepejabatan mereka. Pejabat lupa bahwa sejatinya masyarakat sedang mengingatkan agar mereka dapat melaksanakan fungsi kepublikannya.
Lewat kritik, masyarakat ingin pejabatnya bekerja lebih baik dan benar. Sayang, di sisi sebaliknya, pejabat menganggap masyarakat sebagai entitas yang tidak tahu persoalan. Alhasil, banyak kritik masyarakat tidak ditanggapi pejabat.
Anda tahu fase berikutnya saat kritik tidak ditanggapi? Masyarakat mengkritik dengan bahasa yang lebih keras. Tapi, Anda tebak, karena pejabat mudah tersinggung, dan mereka tidak suka masyarakat berbahasa keras, mereka acap kali lebih memilih untuk memberi masyarakat pelajaran. Di situlah pentingnya UU ITE bagi pejabat.
Yang kemudian terjadi adalah, akhirnya masyarakat dipolisikan, pejabat tetap bekerja begitu-begitu saja, dan substansi persoalan yang sedang dikritik dengan sendirinya terlupakan.
Tentu saja pejabat kita perlu sesekali mendengar kegelisahan para intelektual yang bicara tentang prinsip check and balance. Di setiap negara demokrasi, prinsip itu patut berjalan apapun yang terjadi. Check and balance memungkinkan bagi masyarakat (baca: oposisi) untuk terus-menerus mengoreksi jalan kekuasaan yang tidak memihak pada orang banyak.