Scroll untuk baca artikel
Blog

Pemahaman Lain Tentang Golput

Redaksi
×

Pemahaman Lain Tentang Golput

Sebarkan artikel ini

Ke arah manakah pemerintah mengawal kesehatan kita? Sejumlah besar orang percaya secara umum kehidupan kita sedang menuju kepunahan; kita diarak dari tempat remang menuju zona-zona yang lebih gelap. Belum rampung trauma kita dari kegagalan new normal, kini kita dihadapkan pada pilkada.

Sudah banyak pakar epidemiologi menyarankan agar pilkada ditunda. Saya percaya ucapan mereka dan setuju dengan penjelasan-penjelasan yang diutarakan. Tentu saja, di satu sisi, penting melanjutkan pesta demokrasi meski situasi sedang krisis. Ada 9 daerah yang memilih gubernur, 224 memilih bupati, 37 memilih wali kota, dan semuanya menuntut untuk segera ditentukan oleh hasil suara kita.

Memilih pemimpin daerah adalah kesempatan kita menentukan bagaimana pembangunan dijalankan di tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Di luar alasan tersebut, pandemi belum juga melandai dan ini memunculkan tanda tanya besar. Apa yang sebetulnya sedang kita cari dari pilkada? Berapa banyak yang sudi ikut mencoblos?

Mudah membayangkan bagaimana mood elektoral masyarakat akan turun mengingat pemerintah tampak kehabisan akal menghadapi virus Corona. Bisa jadi, sementara orang telah semakin takut terpapar virus, hasil pilkada akan jauh dari legitimasi yang diharapkan karena partisipasi warga negara cenderung kecil.

Saya percaya, demokrasi baru dapat dikatakan baik jika ada partisipasi aktif dari warga negara. Katakanlah artinya semakin banyak orang yang ikut pencoblosan, maka hasil pemilu semakin layak untuk disebut sesuai aturan main demokrasi. Gus Dur pernah menulis soal ini: “Menyerahkan jalannya roda pemerintahan kepada para penguasa tanpa melalui pemilu rasanya amat berjauhan dari sikap hidup sebagai bangsa”.

Namun, ada banyak bentuk demokrasi selain momen pilkada. Dalam sejumlah situasi, bahkan dapat dimengerti bahwa demokrasi bukan hanya soal mencoblos di TPS. Di tahun 1971, misalnya, partisipasi untuk memperjuangkan demokrasi justru ditunjukkan dengan sikap golput.

Sikap ini diinisiasi Arief Budiman sebagai statemen politik atas pemilu yang tidak demokratis dan korup karena didikte rezim Orde Baru. Mereka yang golput mungkin hadir di TPS, namun memilih untuk tidak memilih. Pada rezim Soeharto itu (di mana terjadi mobilisasi luar biasa untuk mengikuti pemilu), kertas-kertas suara yang kosong nyaris bisa dipastikan datangnya dari penganut sikap golput ini.

Walaupun harus diakui, sejak dulu hingga sekarang, penganut golput tidaklah signifikan jumlahnya. Pengaruh mereka pun barangkali terbatas hanya di lingkaran kelas menengah. Bisa dikatakan, golput sebagai sebuah ‘sikap tidak memilih’ jumlah penganutnya relatif kecil. Lain cerita dengan ‘tindakan tidak memilih’ yang jumlah pelakunya semakin besar.

Antara sikap dan tindakan, keduanya sama-sama menunjukkan pola abstention. Tapi yang disebut terakhir menjadi menarik, selain karena jumlahnya semakin banyak, ia lebih natural karena tidak dikemas dalam satu gerakan yang mengusung ideologi tertentu. Mungkin ‘tindakan tidak memilih’ tersebut hampir mirip dengan apatisme, meskipun tidak serta-merta bisa diartikan demikian.

Barangkali, dulu satu-satunya alasan ‘tindakan tidak memilih’ adalah rasa putus asa melihat nama-nama calon pemimpin daerah yang, diduga seperti pada umumnya: tidak mengubah keadaan.

Sekarang, banyak orang memiliki alasan yang lebih kuat untuk melakukan tindakan tersebut lebih dari apapun. Lagi pula, ketika satu-satunya aspirasi politik yang kita miliki sekarang adalah agar pemerintah dapat menghentikan virus Corona, daripada datang ke TPS, di rumah saja terdengar lebih oke dan berwibawa. []