Oleh: Dimas Suryo Pamujo S. E.
PERBEDAAN latar belakang masyarakat di Indonesia merupakan keniscayaan karena begitu beragam dan variatifnya perbedaan ras, budaya, etnis, afiliasi kelompok dan agama. Hal tersebut turut berdampak pada pemilihan elektoral di mana akan begitu banyak pertimbangan atau preferensi masyarakat dalam memilih calon kandidat.
Selama proses berdemokrasi, masyarakat diberikan kebebasan untuk memilih pemimpin atau wakil pemimpinnya. Dengan berbagai latar belakang masyarakat, kebebasan memilih pemimpin mampu memunculkan berbagai pertimbangan politik, mulai dari pertimbangan ideal hingga pertimbangan yang kurang ideal.
Pertimbangan masyarakat dalam memilih calon kandidat yang ideal adalah pertimbangan yang didasari oleh nilai profesionalisme, integritas, kapabilitas calon kandidat serta kualitas program kerja yang ditawarkan calon kandidat kepada masyarakat. Akan tetapi, realitanya tidak mesti demikian.
Dari beragamnya kondisi masyarakat, akan menimbulkan pertimbangan politik yang berpotensi bias dalam masa pemilu dan jauh dari nilai profesionalitas contohnya hanya berdasarkan etnis, agama, besaran uang yang diberikan dan faktor lainnya. Panasnya politik identitas sebetulnya bukan lah hal baru di Indonesia seperti halnya politik uang yang sudah seperti tradisi dalam pusaran politik elektoral yang gelap dan kelam di Indonesia.
Lantas apakah penyebab langgengnya “tradisi” ini? Apakah terdapat hubungan kausalitas antara kondisi ekonomi dengan preferensi masyarakat dalam politik elektoral?
Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan data survei Indonesian Family Life Survey gelombang ke 5 tahun 2014 dengan jumlah responden sebesar 28.588 individu.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui secara keseluruhan tingkat kesejahteraan materiel berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan politik berdasarkan penampilan, popularitas, kualitas program dan pengalaman pemerintahan.
Kemudian, tingkat kesejahteraan materiel juga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertimbangan calon kandidat berdasarkan persamaan afiliasi politik, kepercayaan, dan etnis.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin sejahtera masyarakat maka probabilitas seseorang untuk memilih pemimpin hanya berdasarkan pertimbangan politik yang bersifat identitas akan berkurang dan lebih mementingkan pertimbangan politik yang relatif lebih terukur seperti kualitas program dan pengalaman di pemerintahan.
Aspek pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perbedaan preferensi politik masyarakat. Tidak bisa dipungkiri bahwa akses pendidikan yang lebih tinggi dengan mudah didapatkan oleh masyarakat yang memiliki tingkat kesejahteraan yang baik.
Oleh karena itu, ketika pendidikan dimasukkan sebagai variabel kontrolnya, maka terdapat pengaruh positif dan signifikan terhadap pertimbangan berdasarkan kualitas program (0,07) dan pengalaman pemerintahan (0,03).
Hal ini dapat diartikan bahwa kenaikan sebesar 1% tingkat pendidikan seseorang, maka akan meningkatkan probabilitas memilih calon kandidat berdasarkan pertimbangan kualitas program dan pengalaman pemerintahan.
Akan tetapi, pertimbangan berdasarkan penampilan, popularitas, kesamaan afiliasi, kepercayaan, etnis, gender, uang transportasi, dan usia menunjukkan pengaruh yang negatif dan signifikan. Artinya, kenaikan 1% tingkat pendidikan seseorang maka akan menurunkan probabilitas seseorang untuk memilih berdasarkan delapan pertimbangan di atas dalam memilih calon kandidat.
Hal tersebut selaras dengan penelitian dari Pradhanawati dkk. (2018) yang menyebutkan bahwa faktor pendidikan signifikan mempengaruhi pertimbangan masyarakat dalam memilih berdasarkan politik uang karena 70,1% masyarakat dengan pendapatan rendah memilih untuk menerima politik uang, semakin tinggi pendidikan akan mengurangi kecenderungan masyarakat untuk memilih berdasarkan politik uang.
Peningkatan kualitas pemilu di Indonesia bisa dilakukan melalui perbaikan pada sektor Pendidikan. Kunci dari perbaikan kualitas pertimbangan politik masyarakat dalam memilih terletak pada pendidikan karena dari uji regresi menunjukkan bahwa pemilih yang semakin sejahtera dan semakin berpendidikan akan memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk menolak politik uang.
Selain itu diperlukan juga kemudahan untuk masyarakat dalam mendapatkan pendidikan karena semakin luas jangkauan pendidikan di masyarakat maka akan semakin meluas pula dampak perubahan sosialnya di masyarakat.
Pada ulang tahun Republik Indonesia yang ke-77 ini seharusnya menjadi momentum bersama untuk berubah, sudah saatnya kita berhenti mendiskusikan kepalsuan dukun santet dan mulai menerawang kembali sudah sejauh apa akses pendidikan dapat disentuh oleh masyarakat kelas menengah dan ke bawah?
Masihkah ada kasus anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah ataupun kuliah di perguruan tinggi? Masihkah ada kasus mahasiswa yang tertekan dan cuti karena keterbatasan ekonomi? Pemerintah telah mencanangkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang bahkan telah memfasilitasi masyarakatnya untuk dapat berkuliah dengan tanpa biaya. Tapi sudahkah program tersebut tersosialisasikan dengan baik. Statistik membuktikan bahwa di negara yang sudah berumur 77 tahun ini mayoritas pendidikan masyarakatnya adalah lulusan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama (BPS, 2021).
Tentu setiap insan berharap masyarakat dari berbagai lapisan dapat merdeka dalam mengakses pendidikan setinggi-tingginya, semerdeka-merdekanya. Sehingga tercipta ekosistem demokrasi yang lebih cerdas dan berkeadilan. Selamat ulang tahun Republik Indonesia ke 77, penulis yakin segala usaha baik untuk bangsa pasti akan sampai.
Dimas Suryo Pamujo S. E, Peneliti INSPECT (Institute of Public Policy and Economic Studies)