Postur APBN 2021 menyatakan pembiayaan utang sebesar Rp1.177 triliun. Pembiayaan utang merupakan rencana penambahan utang karena pengelolaan APBN tahun 2021.
Faktor kurs rupiah, terutama atas dolar Amerika belum diperhitungkan. Akan menambahnya, jika terjadi pelemahan rupiah antara posisi akhir tahun 2021 nanti dengan akhir tahun 2020. Jika kursnya diasumsikan setara, maka posisi utang pemerintah akhir tahun 2021 menjadi Rp7.262 triliun.
Sementara itu, asumsi PDB nominal tahun 2021 dalam APBN 2021 sebagaimana yang disebut dalam KEM-PPKF 2020 tampak sangat tidak realistis. Sebagaimana diketahui, PDB tahun 2020 hanya Rp15.434 triliun. Untuk mencapai Rp17.666 triliun dibutuhkan kenaikan sekitar 14,46%. Berarti juga pertumbuhan ekonomi lebih dari 10%, dengan tren laju inflasi sejauh ini.
KEM-PPKF 2022 tampak menyadarinya. Baseline PDB tahun 2021 yang kemudian dipakai sebagai dasar prakiraan adalah kisaran Rp16.532-Rp16.658 triliun. Jika diambil titik tengahnya, maka akan sebesar Rp16.595 triliun.
Dengan demikian, rasio utang pada akhir tahun 2021 dapat dihitung dari prakiraan posisi utang (Rp7.262 triliun) dibandingkan prakiraan PDB tahun 2021 (Rp16.595 triliun), yaitu sebesar 43,76%. Jauh lebih besar dari asumsi APBN 2021 yang 41% di atas. Dan masih diasumsikan kurs rupiah tidak berpengaruh signifikan.
Ternyata, target rasio tahun 2022 dari KEM-PPKF pun mesti dikritisi. Padahal, baseline PDB 2021 yang dijadikan dasar perhitungan telah disesuaikan dengan perkembangan terkini.
Prakiraan di kisaran 43,76- 44,28% yang disebut di atas berdasar asumsi PDB sebesar Rp17.913-Rp18.153 triliun. Meski masih tampak optimis, namun masih cukup realistis. Jika target masing-masing diambil titik tengahnya, PDB nominal dianggap akan tumbuh 8,67%.
Persoalannya adalah pada prakiraan posisi utang akhir tahun 2022. KEM-PPKF 2021 menyebut rencana defisit di kisaran 4,51-4,85% PDB dan pembiayaan investasi 0,30-0,95% PDB. Keduanya paling menentukan dalam besaran pembiayaan utang. Jika masing-masing diambil titik tengah dari rencana dan dijumlahkan, maka akan sebesar 5,36% PDB. Memang ada faktor lain yang bisa sedikit membantu, misalnya penggunaan SILPA.
Jika pembiayaan utang tahun 2022 memang sebesar 5,36% PDB, maka nilai nominalnya dapat dihitung. Titik tengah dari kisaran prakiraan PDB 2022 adalah sebesar Rp18.033 triliun. Nominal pembiayaan utang akan sekitar Rp967 triliun.
Posisi utang akhir tahun 2022 merupakan prakiraan posisi akhir tahun 2021 ditambah pembiayaan utang, yaitu menjadi sebesar Rp8.229 triliun. Sekali lagi, hal ini masih mengasumsikan kurs rupiah tidak melemah. Faktor kurs ini cukup berarti, karena porsi utang berdenominasi valas masih besar.
Perhitungannya berujung pada rasio utang pemerintah akhir tahun 2022. Dihitung dari prakiraan posisi utang (Rp8.229 triliun) dengan PDB nominal (Rp18.033 triliun), yaitu sebesar 45,63%. Dapat dilebarkan menjadi kisaran 45-46%.
Dari uraian di atas, prakiraan penulis berbeda dengan KEM-PPKF 2022. Tepatnya, lebih besar, baik untuk tahun 2021 maupun 2022. Padahal prakiraan penulis masih memakai besaran postur APBN 2021 dan KEM-PPKF 2022. Juga belum memperhitungkan faktor kurs rupiah.
Penulis berharap perhitungan rasio utang semacam ini menjadi diskursus publik. Sesuai ajakan pemerintah, pengawasan APBN oleh seluruh masyarakat dibutuhkan untuk perbaikan mendatang. Hal itu mestinya telah berlangsung sejak masih berupa rancangan resmi seperti KEM-PPKF ini. []