CAK NUR kerap menandaskan bahwa kata “puasa” yang diambil dari bahasa Sanskerta itu senada dengan kata shaum yang berarti pengendalian diri. Pengendalian diri di sini adalah pengendalian diri atas dorongan berlaku tamak.
Tersebut kisah, Adam sebagai simbol manusia pertama, dikeluarkan dari surga karena tidak sanggup menahan dorongan dan godaan berlaku tamak untuk tidak makan satu macam buah terlarang, buah kekekalan. Artinya, Adam, dan kita semua sebagai keturunannya, berpotensi akan mengalami kehancuran moral dan spiritual, jika tidak bisa menahan diri dari kecenderungan berlaku tamak.
Nah, puasa sebagai sarana pelatihan ruhani untuk pengendalian diri itu, yang selanjutnya untuk mencapai derajat ketakwaan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al-Baqarah: 183).
Dari ayat tersebut, kewajiban berpuasa tertuju kepada orang yang beriman, yang tidak beriman tidak perlu berpuasa. Kemudian, berkenaan dengan ketamakan, Nabi saw. mengingatkan betapa ketamakan manusia itu tiada batas. Sekira diberi satu ladang yang berisi emas, niscaya akan mencari ladang emas yang kedua. Dan, kalau diberi dua ladang emas, akan tetap mencari ladang emas yang ketiga dan begitu seterusnya.
Hal itu jelas tergambar, ketamakan manusia itu tidak akan pernah terpenuhi kecuali si manusia ini sudah makan tanah alias mati.
Dan, puasa sekali lagi sarana pengendalian diri, yang juga berarti sarana berlatih mati. Muhammad Zuhri mengilustrasikannya dalam Langit-Langit Desa.
“Lalu apa sih perlunya Abang berpuasa? Saya khawatir tubuh Abang menjadi kerempeng akhirnya” tanya sang gadis.
“Ketahuilah, setiap makhluk hidup bakal mati suatu Ketika. Dan, Ketika seseorang mati, pastilah ia berpisah dengan segala-galanya. Alangkah beratnya kalau kita tidak berlatih untuk berpisah dengan kesenangan-kesenangan kita sejak sekarang.” Jawab si Abang.
Jadi, betapa syukur kaum beriman itu, ada kewajiban berpuasa sebulan penuh di bulan ramadan. Betapa latihan berjarak dari kesenangan-kesenangan duniawi serasa mudah karena dijalani bersama-sama. Betapa kerepotan, sekira ritual mengendalikan diri dari segala kebolehan itu tidak diwajibkan, sekadar anjuran moral tanpa dipaksa, misalnya.
Perintah puasa, sebagaimana ayat 183 tersebut, juga mengisyaratkan adanya kesinambungan dengan ajaran-ajaran sebelum Nabi saw, “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Perintah puasa itu berdimensi masa lalu, sebagai kelanjutan dari ajaran para nabi sebelum Muhammad saw.
Namun, puasa juga berdimensi masa depan, “agar kamu bertakwa”. Sebab bertakwa berorientasi kehidupan akhirat. Sebuah perilaku kekinian yang benar-benar diabdikan semata untuk Allah, semata untuk kehidupan setelah kematian.
Al-Quran melukiskan, “Pada hari ini, Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (Yasin: 65).
Gambaran kehidupan akhirat, bahwa tangan dan kaki, serta anggota tubuh kita yang lain, yang akan bicara tentang semua perbuatan yang pernah dilakukan di dunia. Dari situlah, betapa pengendalian diri menjadi niscaya sekira kita berorientasi masa depan, akhirat. Betapa mujur tidaknya kita kelak, bergantung kepada serius tidaknya hari ini kita berpuasa, menjalani ritual mengendalikan diri.
Begitu.