Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Sedari Bocah Sudah Tampak Cerdas

Redaksi
×

Sedari Bocah Sudah Tampak Cerdas

Sebarkan artikel ini

ADA riwayat bahwa Nabi saw. bersabda, “Seandainya aku mendapati kedua orangtuaku atau salah seorang dari mereka memanggilku: “Wahai Muhammad,” sedang saat itu aku dalam keadaan salat Isya dan telah membaca al-Fatihah, niscaya aku menjawab: “Kuperkenankan panggilanmu.” (HR. al-Baihaqy).

Prof. Quraish menjelaskan, kendati hadis itu oleh sementara ulama dinilai lemah, tapi maknanya tidak lemah. Bahwa ada situasi, di mana kebutuhan makhluk harus dipenuhi terlebih dahulu, sebelum menyambut panggilan Tuhan. Sebab Allah Maha kaya, jelas tak membutuhkan makhluk. Itulah pula, kenapa Allah mendahulukan anak yatim dan orang yang minta-minta (bisa dicek dalam surat Ad-Dhuha).

Diriwayatkan lagi, tatkala Nabi saw. bersama beberapa sahabat melewati lokasi makam ibu beliau, beliau menziarahinya, memperbaiki, dan menangis. “Aku disentuh oleh rahmat ibuku, maka aku menangis.” jawab beliau ketika sahabat bertanya kenapa menangis.   

Di lain kisah, beliau juga kerap mempercepat salat tatkala ada anak menangis, khawatir sang anak gelisah mencari ibunya. Juga, ketika ada pemuda yang bersemangat hendak turut berjuang bersama Nabi saw., (dalam HR Bukhari dan Muslim) beliau bertanya, “Adakah seseorang dari ibu atau ayahmu yang masih hidup?

Keduanya masih hidup, Wahai Nabi!” jawab pemuda.

Apakah engkau menginginkan ganjaran Ilahi?

Tentu, Ya Nabi.

Kembalilah kepada Ibu Bapakmu dan berbaktilah kepada mereka!

Begitulah, betapa kehadiran orangtua teramat sentral dalam Islam. Dan, Nabi saw. merasakan betul betapa kasih kedua orangtua itu menjadi dambaan anak. Beliau, sejak Aminah meninggal, Abdul Muththalib yang mengasuh dan menggantikan kasih sayang ibu dan ayah. Selain Abdul Muththalib, juga terdapat Ummu Aiman yang turut mengasuh Nabi saw.

Sampai-sampai Ummu Aiman ini tidak pernah dilupakan Nabi saw. Sosoknya, selain turut mengisi kekosongan kasih sayang orangtua, juga mengingatkan Nabi saw. kepada ayah beliau, Abdullah. Ummu Aiman merupakan hamba sahaya Abdullah.

Ummu Aimanlah yang turut menemani perjalanan Aminah dan bocah kecil Muhammad saw. ke Yatsrib untuk berziarah ke makam Abdullah. Mereka bertolak dari Makkah dan akan menempuh perjalanan sejauh 400 km. 

Lagi-lagi Ummu Aiman yang menemani Muhammad kembali ke Makkah, karena dalam perjalanan dari Madinah, Aminah mengembuskan napas terakhir. Aminah dimakamkan di sebuah desa sekitar 37 km dari Madinah.

Beliau mengenang Ummu Aiman dalam sabdanya, “Dia ibuku setelah ibuku.” Dan, Ummu Aiman pun dimerdekakan Nabi saw. setelah beliau menikah dengan Khadijah. Kemudian Ummu Aiman dinikahkan dengan Zaid ibn Haritsah, lahir Usamah ibn Zaid. Usamah merupakan anak yang sangat disayangi Nabi saw. selain Hasan dan Husein, di mana ketiga anak tersebut kurang lebih sebaya.

Kebersamaan Nabi saw. dengan Abdul Muththalib tak berlangsung lama. Abdul Muthathalib meninggal dalam usia 80 tahun, sementara Nabi saw. masih dalam usia delapan tahun. Kemudian, sepenuhnya Nabi saw. dalam pengasuhan pamannya, Abu Thalib.

Abu Thalib pun dengan sepenuh hati menyayangi Muhammad saw. Kehadiran bocah itu telah membangkitkan ingatan Abu Thalib kepada saudara kandungnya, “Alangkah miripnya Muhammad dengan ayahnya, Abdullah.”

Ya, Abu Thalib sebetulnya hanya hidup berkecukupan, dengan anak yang banyak, tapi tetap bisa, bahkan teramat menyayangi Muhammad saw. Pembelaan Abu Thalib kepada Muhammad saw. tidak tanggung-tanggung. Sepenuh jiwa demi sang kemenakan.

Dan, Muhammad kecil, sang bocah yatim piatu itu, yang sedari kecil telah menunjukkan kemuliaan budi, mengerti betul bagaimana membantu kesulitan sang paman. Beliau suka mengalah dan pemalu. Namun, beliau memiliki kecerdasan lebih, bahkan sangat menonjol dibanding anak-anak sebayanya. Sungguh, kecerdasan Muhammad saw. sudah tampak sedari kecil.