Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Tembang Sigra Milir, Legenda Tentang Joko Tingkir

Redaksi
×

Tembang Sigra Milir, Legenda Tentang Joko Tingkir

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pada suatu ketika KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur cucu dari KH Hasyim Asy’ari yang juga keturunan Joko Tingkir memberikan ceramah di Gresik Jawa Timur. Kepada para Jamaah Gus Dur bertanya tentang tembang Sigra Milir.

Lantas Gus Dus melantunkan tembang Sigra Milir dan memberikan penjelasan makna yang terkandung dalam tembang tersebut.

Sigra Milir merupakan tembang yang bercerita tentang sosok Raja dan Wali Jawa yakni Joko Tingkir. Hal ini dijelaskan Gus Dur dengan tafsirnya, adapun teks Jawa dan Bahasa Indonesia yakni:

Sigra milir sang gèthèk sinangga bajul
Kawan dasa kang njagèni
Ing ngarsa miwah ing pungkur
Tanapi ing kanan kéring
Sang gèthèk lampahe alon

Arti teks Sigra Milir:

Mengalirlah segera sang rakit didorong buaya
Empat puluh penjaganya
Di depan juga di belakang
Tak lupa di kanan kiri
Sang rakit pun berjalan pelan.

Menurut Gus Dur Tembang Sigra Milir bercerita tentang legenda Joko Tingkir yang memiliki nama asli Mas Karebet. Ia merupakan putra dari Ki Ageng Pengging yang dikenal dengan Ki Kebo Kenanga dan Nyi Ageng Pengins. Adapun nasab Joko Tingkir sampai ke Rasulullah yakni Nabi Muhammad Saw, ia merupakan keturunan ke-23.

Joko Tingkir dalam perjalanannya di asuh oleh Ki Ageng Tingkir yang kemudian nama Mas Karebet dikenal dengan nama Joko Tingkir. Lalu perjalanannya berlanjut mengabdi ke kerajaan Demak Bintoro hingga menjadi raja di Kerajaan Pajang.

Saat menjadi raja di Kerajaan Pajang, Joko Tingkir mampu menguasai wilayah Jawa Timur. Joko Tingkir atau raja yang bergelar Sultan Hadiwijaya meninggal pada tahun 1582.

Tafsir Tembang Sigra Milir

Ada beragam tafsir tentang tembang sigra milir, adapun makna yang terkandung dalam teks tersebut yakni Joko Tingkir sedang melaksanakan perjalanan kehidupan. Dalam perjalanannya Joko Tingkir sampai di Bengawan Solo.

Lalu ia mengarungi bengawan solo dengan dengna menggunakan rakit yakni pelampung yang terbuat dari bamboo-bambu. Adapun ragam tafsir yang memiliki ragam makna yakni teks yang berbunyi, “Kawan dasa kang njagèni” yang artinya empat puluh penjaganya.

Makna yang terkandung dari 40 penjaga yakni ada yang mengartikan Joko Tingkir didampingi 40 ekor buaya dari hulu menuju hilir, jika sesuai dengan teks sigra milir yakni “Bajul.” Ada pula yang menjelaskan bahwa 40 penjaga yakni para prajurit dan bahkan ada yang mentafsirkan 40 penguasa dari berbagai daerah.

Tafsir lain 40 pendamping yakni 40 perampok sungai yang disimbolkan buaya yakni para perompak atau perampok. Sebab sungai merupakan kawasan para perampok melancarkan aksinya untuk merampok orang-orang luar yang memanfaatkan transportasi sungai.

Jadi pada dasarnya tembang tersebut bercerita tentang legenda Joko Tingkir dalam perjalannya menemukan kediriannya. Sehingga pada puncaknya ia selain menjadi raja, juga tergolong wali jawa.