“Ajaklah ia untuk beriman kepada-Ku dengan lemah lembut. Mudah-mudahan ia ingat akan keimanan yang telah dilalaikannya, dan takut akan akibat sikapnya yang kafir dan zalim.” (QS.Thaha: 44).
BARISAN.CO – Khalifah Al-Makmun adalah khalifah ke-7 dari dinasti Abbasiyah yang berkuasa selama 20 tahun, dari tahun 813-833. Kebijakan khalifah yang paling populer yakni dibidang pendidikan, ia banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
Pusat-pusat pendidikan ini menjadi salah satu sarana belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Selain lembaga pendidikan, yang paling terkenal yakni mengembangkan Baitul Hikmah, sebagai pusat penerjemahan buku-buku dan majelis yang mengkaji dan ruang keilmuan.
Melalui sarana ilmu pengetahuian inilah Khalifah Al-Makmun menjadikan kota Baghdad sebagai pusat pengembangan dunia Islam berdasarkan sains dan teknologi. Sehingga Baghdad waktu itu menjadi kota yang metropolis dengan peradaban Islam yang maju. Bahkan menjadi pusat perdagangan terbesar di dunia selama berabad-abad lamanya.
Era Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad menjadi pusat peradaban dan mengamali masa keemasan. Namun demikian kurang begitu disukai oleh rakyatnya bahkan terjadi konflik internal perebutan kekuasan antara Al-Amin dan Al-Makmun.
Bahkan banyak ulama dan orang salih juga tidak begitu suka lantaran Khalifah Al-Makmun pemikirannya cenderung bermahzab teologi liberal. Tentu hal ini pengaruh dari Baitul Hikmah yang menerjemahkan karya-kaya filosof barat.
Berikut ini salah satu kisah ketidaksukaan rakyat terutama ulama, kisah berjudul “Tidak Sejahat Firaun.” Para ulama terlebih khusus para mubalig memanfaatkan mimbar dakwah untuk melawan kezaliman penguasa.
Pada suatu ketika pada hari jum’at, khalifah Al-Makmun berkunjung ke Bashrah. Khalifah Al-Makmun lalu ikut salat di masjid agung Bashrah yang merupakan tempat kelahiran Imam Hasan Al-Bashri.
Saat ini sang khatib naik mimbar dan mulai menyerukan ketidaksukaannya pada khalifah. Namun yang dilakukan khatib tersebut dengan nada dan kata-kata yang pedas dan kasar.
Khalifah Al-Makmun mendengar khutbah sang khatib, sebagai salah satu jamaah salat Jumat ia tetap tenang dan berdiam diri. Serta perasaannya tidak terbawa emosi, barangkali khatib lagi emosi.
Pada lain waktu, Khalifah Al-Makmun menjalankan salat jumat di masjid yang berbeda. Al-Makmun menyadari ternyata khatibnya sama saat khutbah di Masjid Bashrah.
Khatib tersebut berkhutbah dengan emosi yang sama, ia berkhutbah secara kasar dan emosional dan menjelek-njelekan Khalifah Al-Makmun. Bahkan pada doanya sang khatib tersebut mendokan seorang pemimpin dengan doa yang jelek.
Sang khatib mengucapkan, “Mudah-mudahan Khalifah yang sewenang-wenang ini dilaknat oleh Allah Swt.”
Perasaan Khalifah Al-Makmun mulai terlukai, lalu ia memerintahkan pengawalnya untuk memanggil sang Khatib menghadap ke istananya.
Sang khatin akhirnya datang mengunjungi istana Khalifah Al-Makmun. Khatib tersebut dijamu dengan baik dan memulyakannya.
Seleh selesai menjamu, kepada sang Khatib sang Khalifah bertanya,” Siapakah yang paling baik antara Tuan Khatib dengan Nabi Musa?”
“Tenu saja Nabi Musa yang lebih baik dari saya,” Jawab Khatib.
“Lalu, menurut pendapat Tuan Khatib, saya dibandingkan dengan Firaun jahat siapa?” Tanya Khalifah.
Sontak sang Khatib terperangah dan tak menduga pertanyaan tersebut. Dan sang khatib mulai nyadari kemana tujuan pertanyaan tersebut. Namun ia harus tetap menjawab.
“Firaun masih lebih jahat daripada Tuan Khalifah,” jawab Sang Khatib.
Khalifah Al-Makmun kemudian mengatakan bagaimanapun jahatnya Firaun, sampai ia mengaku tuhan, dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa, Firuan menebus hidup-hidup dayang-dayang putrinya yang bernama Masyitah beserta susuannya. Bahkan Nabi Musa diperintahkan Allah Swt untuk berkata dengan lemah lembut kepada Firaun.