Scroll untuk baca artikel
Opini

Hukum Progresif: Hukum yang Pro- rakyat

Redaksi
×

Hukum Progresif: Hukum yang Pro- rakyat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Syaiful Rozak*

BARISAN.CO – Hukum progresif merupakan salah satu gagasan yang paling menarik dalam literatur hukum Indonesia. Dikatakan menarik, karena telah menggugat keberadaan hukum modern yang telah dianggap mapan dalam berhukum kita selama ini. (Ufran hal. v)

Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatian terhadap hukum di Indonesia. (Satjipto Rahardjo, 2009:3). Reformasi hukum di Indonesia belum berhasil, antara lain disebabkan masih maraknya korupsi, komersialisasi dan commodification. Untuk mengatasi hal tersebut Satjipto Rahardjo menawarkan konsep pemikiran yang disebut dengan hukum progresif.

Hukum progresif menurut Satjipto Rahardjo adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia. Secara lebih spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai “hukum yang pro-rakyat” dan hukum yang pro-keadilan.

Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Hukum progresif merupakan koreksi terhadap kelemahan sistem hukum modern yang syarat dengan birokrasi serta ingin membebaskan diri dari dominasi suatu tipe hukum liberal.

Hukum progresif menolak pendapat bahwa ketertiban (order) hanya bekerja melalui institusi-institusi kenegaraan. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada hukum ideal dan menolak status quo, serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.

Konsep pemikiran tersebut ditawarkan untuk diimplementasikan dalam tataran agenda akademia dan agenda aksi. (Satjipto Rahardjo, 2009:2)

Sejak reformasi tahun 1998, bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum sampai kepada taraf mendekati keadaan ideal, tetapi malah semakin menimbulkan kekecewaan, khususnya berhubungan dengan pemberantasan korupsi. Komersialisasi dan commondification hukum makin tahun makin marak.

Inti dari kemunduran tersebut adalah kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum menjadi sesuatu yang makin langka dan mahal. Hampir dimana-mana kerendahan budi merajalela dan rakyat serta bangsa makin tidak bahagia.

Berangkat dari kegelisahan tersebut, Satjipto Rahardjo berusaha untuk mengatasi keterpurukan hukum dengan menawarkan gagasan dengan apa yang disebut dengan hukum progresif agar lebih bermakna.

Hukum untuk Manusia

Hukum progresif berangkat dari asumsi dasar yang ingin diajukan adalah mengenai pandangan tentang hubungan antara hukum dan manusia. Prinsip yang ingin ditegaskan: “hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaiknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar.

Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. (Satjipto Rahardjo, 2009:5).

Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final, melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu.

Hukum progresif tidak menerima hukum sebagai institusi yang mutlak dan final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran tersebut, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik.

Menariknya hukum progresif tidak menghendaki hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral. Dalam hukum progresif ada nuansa moral yang kuat yang ingin dibangun. Penegak hukum diajak untuk tidak hanya menggunakan logika dan undang-undang dalam menjalankan hukum, melainkan menyertakan hati nurani.