Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Novel Sarongge: Oligarki Kapital

Redaksi
×

Novel Sarongge: Oligarki Kapital

Sebarkan artikel ini

KEMBALI, di dini hari, ketika mata tak kunjung menyepakati keinginan, saya isi dengan mendengar seruling instrumentalia Sunda. Syahdu. Sungguh! Apalagi hawa dingin terus merayapi lereng Gunung Ungaran. Sehingga kompleks perumahan itu makin sepi kian lengang. Orang-orang enggan keluar rumah. Atau memang mereka masih terlelap dalam capek. Entah!

Lantas, sontak saung Husin, dalam novel karya Tosca Santoso, yang terbuat serba dari bambu itu menyelinap ke dalam benak. Pelan-pelan percakapan Husin dengan Karen mulai terdengar. Masih sayup-menyayup, tapi tampak nyata. Saya tahu benar, Husin, pemuda petani  lereng Gunung Gede itu, jelas-jelas mengagumi Karen. Namun, ia masih malu untuk mengungkapkan isi hatinya. Ia hanya bisa diam-diam mencuri pandang muka Karen.

Sosok Husin ini memang persis diri saya. Sosok yang tak begitu pandai menyembunyikan rasa kagum. Namun, sekaligus tak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya secara verbal. Ah, dasar cemen!

Tapi memang, saya membayangkan Karen ini sosok yang mengagumkan. Sehingga wajar kalau Husin pun serasa dituntun (oleh yang Mahacinta) untuk menaruh harapan padanya. Karen Hidayati, pegiat lingkungan yang benar-benar berdedikasi. Sisa hidupnya ia habiskan untuk penelitian dan aksi menjaga hutan dari kesewenangan kuasa dan modal yang kemaruk.

Sarongge ini memang. Novel Tosca Santoso yang telah membetot perhatian saya. Terlebih dini hari saat itu. Suasana lereng Gunung Ungaran saya bayangkan seperti lereng Gunung Gede. Ya, meski tak sama persis. Di sini, di tempat saya bermukim sudah tak sejuk sebagaimana awal saya menghuni. Lahan-lahan hijau telah beralih beton. Sebagian area sawah malahan menjadi vila.

Nah, dalam dini hari saya duduk di beranda seraya memandang langit yang tak bertabur bintang. Saya membayangkan Husin yang akhirnya menikah dengan Karen di bawah Ki Hujan. Dan karena jiwa kemanusiaan mereka berdua yang sebegitu membuncah. Mereka  bertekad  menunda anak, tapi toh akhirnya malah ketiban berkah untuk langsung mengasuh dua anak sekaligus, Anisa dan Rena. Dua bocah yatim, ayah mereka meninggal dunia.

Terus terang saya sangat terhibur oleh kehadiran novel Tosca itu. Selain soal gagasan perlindungan hutan yang begitu kental, saya terkesan dengan penggambaran Husin yang ditempatkan sebagai pahlawan keluarga. Husin, seorang lelaki sekaligus petani organik, diceritakan sebagai perawat domestik. Ia menggarap pekerjaan rumah tangga, mulai dari masak air dan menyeduh teh untuk Karen. Ia selalu bangun pagi lebih awal ketimbang Karen.

Husin yang sederhana. Perawat keutuhan kampung dari kerakusan pemodal besar. Ia tak pergi ke mana-mana. Ia tertambat di Sarongge sebagai petani yang mengusung gerakan antipestisida. Sedang Karen, sang istri, aktivis lingkungan tingkat nasional, bahkan global.

Karen adalah anggota Ksatria Pelangi, organisasi lingkungan hidup berkelas internasional. Ia mencintai Husin dan kedua putrinya. Namun toh ia tetap memiliki kemewahan sendiri sebagai aktivis lingkungan yang tak hanya berkutat di Sarongge. Ia acap kali terlibat dalam aksi perjuangan membebaskan hutan dari keserakahan kapitalis. Ia masuk pedalaman rimba di Sumatra. Kali lain hingga ke perbatasan negeri di Timor Leste. 

Saya ingat banget, suatu pagi, dini hari yang sungguh dingin, Karen pamit pada Husin untuk melanjutkan perjuangan, menyelamatkan bumi. Ia menumpang kapal barang Dewi Samudra menuju Pulau Kisar.

Demikian itu Karen yang sungguh keren. Ia mobile. Berwawasan global. Pengusung ide-ide besar.  Namun, tetap saja ia setia merawat cinta bersama Husin. Ya, meski  acap kali bumi Tuhan ini memang belum benar-benar surga, tapi tampak Karen menganut puisi Sapardi: “Aku ingin mencintaimu dengan cara sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu… Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”