BARISAN.CO – Selama pandemi COVID-19 berlangsung, tingkat emisi CO2 global sempat melandai akibat penurunan aktivitas ekonomi dan mobilitas manusia. Namun, pelahan-lahan emisi merangkak naik seiring longgarnya kebijakan mobilitas di beberapa negara.
Hal tersebut disampaikan oleh analis kebijakan ahli madya BKF Kemenkeu Noor Syaifudin, Ph.D, dalam diskusi yang diselenggarakan Koalisi Generasi Hijau dengan tajuk “RAPBN 2022: Pro Green Economic Recovery?” yang diselenggarakan Rabu (28/4/2021).
Menurut paparan Noor Syaifudin, meningkatnya kadar emisi tersebut perlu menjadi perhatian bersama. Bahwa, di tengah tantangan menghadapi pandemi yang belum kunjung usai, perekonomian yang pelahan memasuki fase pemulihan rupanya mendorong kembali tingkat emisi karbon global.
“Pemerintah tidak boleh lengah karena risiko dari kenaikan laju emisi karbon dapat mengancam kesinambungan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat melalui dampak perubahan iklim,” demikian Noor Syaifudin.
Hal tersebut, lanjutnya, menyadarkan negara di dunia bahwa aspek lingkungan penting dalam pembangunan. Konsep build back better dan green recovery dirasa perlu dilakukan untuk menghindari dampak yang tidak diharapkan atas perubahan iklim.
Diketahui, pemerintah sendiri memang telah berkomitmen soal perubahan iklim dengan menyepakati Nationally Determined Contribution (NDC). Indonesia, dalam dokumen NDC itu, disebut siap menurunkan emisi karbon sebesar 29% dengan skema business as usual pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan internasional.
Butuh dana yang besar untuk mencapai target NDC. Pemerintah sendiri telah melakukan climate budget tagging untuk mengetahui kapasitas fiskal sampai dengan 2030 dalam upaya mendorong komitmen terkait perubahan iklim.
“Dibutuhkan Rp3.779,63 triliun jika dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dan Rp3.776,52 triliun jika dengan RDF (Refuse-Derived Fuel),” kata Noor Syaifudin.
Menurut Noor Syaifudin, dilihat dari segi fiskal, APBN dapat digunakan sebagai instrumen utama untuk mendorong transformasi menuju green economy (ekonomi hijau).
“Pendapatan negara dapat digunakan untuk menjadi stimulan berbagai pengembangan energi baru terbarukan. Belanja dapat diarahkan mendorong belanja pemerintah yang rendah karbon dan berdaya tahan iklim. Sementara aspek pembiayaannya dapat mendorong instrumen pembiayaan yang inovatif,” jelas Noor Syaifudin.
Sementara itu, Koordinator koalisi masyarakat sipil Generasi Hijau Misbah Hasan, yang juga hadir dalam diskusi, menyebut penting bagi pemerintah memasukan kerangka green stimulus fiscal ke dalam APBN tahun 2022. Menurutnya, hal itu dapat menjadi langkah strategis dalam penanganan pemulihan ekonomi pasca-pandemi sekaligus mengurai potensi krisis iklim di masa depan.
Menurut Misbah Hasan, ada tiga sektor penting yang perlu diberi stimulus APBN untuk memulihkan ekonomi hijau, ialah sektor energi, pertanian, dan persampahan.
Jika dapat diberi stimulus yang memadai, menurut Misbah Hasan, tiga sektor tersebut akan menyumbang penurunan emisi yang signifikan. Selain itu bahkan terdapat potensi ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat banyak.
“Koalisi Generasi Hijau sudah punya studi atas 3 sektor itu yang terus dimatangkan. Di sektor pertanian, misalnya, kami rasa krusial untuk melakukan peremajaan di lima jenis perkebunan rakyat yaitu sawit, kakao, karet, kelapa, dan kopi. Begitupun dengan dua sektor lainnya yaitu energi dan persampahan.”
Mengacu paparan yang dirancang oleh koalisi Generasi Hijau, peremajaan perkebunan rakyat dapat menghasilkan 15% sampai dengan 17% peningkatan hasil panen. Persentase tersebut setara dengan nilai manfaat ekonomis langsung Rp25.000.000 juta/tahun dan manfaat ekonomi tidak langsung Rp10.000.000 juta/tahun, sekurang-kurangnya dalam periode 20 tahun mendatang.