Scroll untuk baca artikel
Kolom

Mbah Dukuh Teladanku Sebagai Islam yang Hidup

Redaksi
×

Mbah Dukuh Teladanku Sebagai Islam yang Hidup

Sebarkan artikel ini

KEBANYAKAN orang memerlukan contoh, teladan ataupun panutan dalam hidupnya. Biasanya lebih mudah jika sempat berinteraksi langsung. Sebagian ulama dan ustadz masa kini menjadi panutan bagi banyak muslim. Aku sendiri memiliki teladan hidup ketika masih muda dan masih melekat hingga kini. Seorang perempuan tua desa yang kupanggil mbah Pandean.  

Setelah menikah bulan Februari 1992, kami mengontrak sebagian rumah di daerah sewon Bantul. Disebut sewa sebagian karena bagian lainnya ditempati oleh seorang ibu tua yang memiliki rumah. Kala itu berumur sekitar 75 tahun.

Kami memanggilnya mbah Pandean. Pandean adalah nama dusun dari lokasi rumah itu. Mbah Pandean merupakan janda mantan kepala dusun masa lalu yang belasan tahun mendahuluinya. Sedangkan kepala dusun saat itu adalah anak tirinya. Mbah dikarunia beberapa anak, cucu dan buyut.

Oleh karena satu rumah dengan kamar bersebelahan, maka aku menyaksikan langsung sebagian besar aktivitas keseharian mbah. Beliau hampir selalu bangun sebelum adzan shubuh. Biasanya sholat tahajud di rumah, dan kemudian dilanjutkan sholat shubuh berjamaah di masjid.

Beliau nyaris selalu sholat berjamaah lima waktu di masjid. Kebetulan, lokasinya berada persis di depan rumahnya. Nanti kuketahui bahwa tanah dan sebagian bangunan masjid memang wakaf almarhum suaminya.

Kembali dari masjid setelah sholat shubuh, mbah memasak atau sekadar memanaskan masakan dengan memakai kayu bakar. Kesukaannya minum teh, dan sesekali kopi di pagi hari. Hari agak terang sedikit, namun terbilang masih pagi sekali,beliau menyapu pekarangan yang amat luas. Kegiatan rutin yang membutuhkan waktu hampir satu jam.

Selepas itu, baru beliau sarapan pagi. Porsinya hanya sedikit dan jarang memakai lauk pauk. Hanya berupa nasi dan sayur. Sayur pun biasanya olahan yang dipanasin dengan kayu bakar, dan bertahan hingga berhari-hari. Tiap mau makan, tak pernah lupa menawari aku dan Ety. Sesekali, kami ikut menikmati sayur masakannya.

Dalam hal makanan, beliau sering dapat kiriman makanan dari orang lain. Terutama yang sedang hajatan atau “selametan”. Mungkin karena beliau terbilang tetua di dusun. Makanan kiriman atau “berkat” selalu dibagi juga ke kami.

Mbah Pandean memiliki sawah tinggalan suami yang digarap oleh anak dan keluarganya. Meski digarap oleh orang lain, dia masih sering ke sawah dan membantu dengan yang dapat dikerjakannya, termasuk menanam padi. Di masa menunggu panen, beliau kerap berjam-jam menunggu sawah untuk mengusir burung.

Dua kegiatan yang setahuku dia jarang absen. Ikut “rewang” atau membantu tetangga yang sedang hajatan, dan ikut pengajian di masjid. Namun, meski sedang rewang atau bertani, selalu sempat pulang untuk sholat berjamaah di masjid.