Scroll untuk baca artikel
Berita

Tantangan Pangan Indonesia: Bagaimana Prabowo-Gibran Akan Mengatasi Ketergantungan Impor

Avatar
×

Tantangan Pangan Indonesia: Bagaimana Prabowo-Gibran Akan Mengatasi Ketergantungan Impor

Sebarkan artikel ini
Tantangan Pangan Indonesia
Ilustrasi

Pemerintahan Prabowo-Gibran menghadapi tantangan besar dalam memulihkan sektor pangan yang stagnan

BARISAN.CO – Beberapa dekade terakhir, sektor pertanian Indonesia telah mengalami perubahan signifikan, dari masa kejayaan pada era 70-an hingga mengalami stagnasi di abad 21.

Perubahan tersebut kini menjadi salah satu tantangan utama yang harus dihadapi oleh pemerintahan Prabowo Subianto dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka.

Berbagai masalah di sektor pangan, mulai dari ketergantungan pada impor hingga ketidakefektifan subsidi, menjadi isu yang krusial. Dalam situasi ini, langkah-langkah baru dibutuhkan untuk mengatasi krisis yang terus berlanjut.

Pada era 70-an dan 80-an, sektor pertanian menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia dengan kontribusi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Pertanian memberikan nilai tambah yang besar, didorong oleh Revolusi Hijau yang meningkatkan produksi pangan secara drastis. Namun, seiring waktu, industrialisasi non-pertanian mulai menggeser posisi sektor pertanian.

Pada tahun 2000-an hingga sekarang, sektor ini hanya menyumbang sebagian kecil terhadap PDB, dan bahkan menjadi “korban ekonomi” dengan rezim harga murah yang diterapkan untuk menjaga kestabilan upah buruh.

Akademisi, Mangku Purnomo dari Universitas Brawijaya pada Diskusi Akhir Pekan yang diselenggarakan Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita dengan topik Isu-Isu Krusial yang Dihadapi Pemerintahan Prabowo Subianto: Bidang Ekonomi dan Pangan, Minggu (20/10/2024), ia menyampaikan salah satu isu utama yang menyebabkan stagnasi sektor pertanian adalah lemahnya inovasi di bidang teknologi pertanian.

Pada masa lalu, sektor pertanian hanya berfokus pada penggunaan traktor, huller (mesin pengupas padi), dan pompa air, sementara lembaga ekonomi yang ada, seperti Koperasi Unit Desa (KUD), mengalami kemunduran dan digantikan oleh perusahaan swasta besar yang lebih mengutamakan keuntungan.

Dalam situasi ini, pemerintah dihadapkan pada kenyataan bahwa sektor pertanian telah kehilangan daya saingnya, dengan industri pangan nasional yang didominasi oleh perusahaan besar yang beroperasi dengan skala ekonomi besar.

Teknologi pertanian modern yang seharusnya menjadi solusi, justru tidak banyak berkembang sejak Revolusi Hijau. Akibatnya, sektor pertanian Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara lain yang lebih cepat mengadopsi teknologi canggih dan inovasi dalam sistem produksi mereka.

Konsolidasi sumber daya alam dan agraria juga menjadi masalah yang semakin mendesak. Ketidakefisienan dalam pembagian peran antara pemerintah dan sektor swasta dalam industri pangan nasional telah menyebabkan banyak program pertanian tidak berjalan dengan optimal.

Salah satu contoh yang paling nyata adalah ketidaklogisan dalam mekanisme kerja antara Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia, dan Badan Urusan Logistik (BULOG).

Kementerian Pertanian, meskipun memiliki tanggung jawab besar atas produksi pangan, tidak memiliki kendali penuh atas pupuk sebagai input produksi utama, yang menyebabkan seringnya terjadi kekurangan pupuk di kalangan petani.

Mangku Purnomo menjelaskan bahwa PT Pupuk Indonesia sering kali menggunakan data permintaan pupuk yang berlebihan dari Kementerian Pertanian sebagai dasar untuk terus menambah subsidi, sementara BULOG terjebak dalam dilema stabilisasi harga pangan.

Dalam situasi ini, koordinasi antara lembaga-lembaga terkait tidak berjalan dengan baik, dan masing-masing merasa telah menjalankan tugasnya dengan benar. Ironisnya, ketidakselarasan ini justru menyebabkan petani tetap kesulitan mendapatkan pupuk dan akses ke input produksi lainnya.

Sementara industri pangan besar terus mengambil keuntungan tanpa memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan petani kecil.