Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Daya Dukung Ekologi Melemah Seturut Kualitas Demokrasi yang Memburuk

Redaksi
×

Daya Dukung Ekologi Melemah Seturut Kualitas Demokrasi yang Memburuk

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kampung Segading, Kutai Timur, Kaltim, adalah satu dari sekian kampung yang terkepung dan dipaksa tersingkir tambang batu bara. Penerbitan izin pertambangan yang dikeluarkan secara serampangan acap disebut sebagai biang dari persoalan itu.

“Perizinan justru menjadi instrumen hukum yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan.” Kata dosen FH Universitas Balikpapan Mohamad Nasir, saat menjadi pembicara dalam webinar LP3ES, Jumat (26/3).

Perizinan, kata M Nasir, juga memperlihatkan ketidakpastian hukum dan tata kelola, khususnya di Kalimantan Timur, baik karena ambiguitas, inkonsistensi, dan ketidaklengkapan norma.

“Dampaknya sangat besar. Secara ekologis (penerbitan izin) menghilangkan penghidupan warga terutama masyarakat adat. Belum lagi mengorbankan warga yang kerap kali meninggal akibat lubang tambang yang dibiarkan terbuka. Semua seakan menjadi fenomena biasa dan sama sekali tak menjadi perhatian serius atas segala ketidakadilan yang terjadi di lapangan,” kata Mohammad Nasir.

Soal perizinan di Kaltim ini barangkali sudah menjadi persoalan sangat serius yang harus diselesaikan. Mengutip data Dinas ESDM Kaltim, izin tambang di Kaltim telah menembus 5.137.875,22 hektare, atau setara 40,39 persen daratan provinsi ini.

Ada sebanyak 1.404 izin usaha pertambangan (IUP) dengan total luas 4.131.735,59 hektare yang diterbitkan para bupati dan wali kota pada masa silam. Ketika kewenangan pertambangan beralih ke pemerintah provinsi sesuai Undang-Undang 23/2014, IUP di Kaltim tersisa 734 izin—Gubernur Awang Faroek Ishak pada akhir pemerintahannya mencabut 670 IUP.

Mohammad Nasir lebih lanjut mengatakan, lemahnya jaminan undang-undang berkaitan dengan partisipasi publik juga menambah kompleksitas masalah. Fakta lapangan menunjukkan, pasal 66 UUPPLH terkait perlindungan pejuang lingkungan hanyalah ‘hiasan’ belaka. Justru polisi begitu mudahnya merepresi mereka atas dasar laporan perusahaan.

Padahal, dalam pasal 66 UU PPLH disebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Senada dengan Mohammad Nasir, peneliti LP3ES Herlambang P Wiratman yang juga hadir dalam diskusi menyatakan, izin-izin administrasi itu justru menguras sumberdaya alam dan merusak lingkungan dalam skala masif.

“Bahkan berdampak pada daya dukung ekologi yang mengakibatkan banjir atau kebakaran hutan yang tak pernah diurus serius pemerintahan Jokowi hari ini.” Kata Herlambang P Wiratman.

Herlambang menegaskan bahwa berkaitan dengan realitas perizinan, sebagaimana diperlihatkan dalam kegiatan pertambangan batu bara, faktanya gagal mencegah kerusakan lingkungan dan bahkan tidak cukup memberi perlindungan akses warga terhadap lingkungan yang baik dan sehat.

Perizinan yang Memihak Kekuasaan

Masalah pembentukan hukum dan undang-undang yang dilakukan secara senyap, diam-diam, dan jauh dari partisipasi publik, tak luput menjadi sorotan. Terbitnya UU Minerba, UU Mahkamah Konstitusi, dan yang paling kontroversial UU Omnibus Cipta Kerja, dinilai telah menjauhkan masyarakat untuk ikut menentukan nasibnya.

Pemihakan dominan pada kekuasaan, termasuk konflik kepentingan dalam pembentukan hukum yang timnya terafiliasi dengan korporasi tertentu, justru menegaskan relasi kuasa dalam ekonomi politik. Debat riuh turunan Omnibus Law 2020 soal FABA yang dikeluarkan dari daftar limbah B3 belakangan, memperkuat argumen arah kebijakan negara kian abai dalam soal lingkungan dan dampak pelanggaran hak-hak asasi manusia.

“Kecenderungan arah kebijakan negara demikian telah masuk kepada apa yang disebut autocratic legalism (legalisme otokratis) oleh Corrales di tulisan jurnalnya 2015.” Kata Herlambang P Wiratman.