Gus Baha berpesan kamu jangan menjadi seperti LSM yang terjebak isu pemutarbalikan sejarah misalnya begini. “Wah itu dulu, itu hanya penciptaan orde baru, sebetulnya kejadian tidak begitu.” Sejarah itu bisa dibolak balik. Tapi kita ikut saja yang resmi karena Islam itu tidak mau ribet.
“Terpenting dalam akidah Islam, kamu membenarkan satu ormas atau satu organisasi politik atau satu gerakan apa saja. Cek, itu dari ajarannya apa. Menurut ajaran Islam kalau orang mengajak komunisme, mengajak atheisme, tidak bertuhan itu pasti ajaran yang salah. Meskipun orang itu berperadaban secara benar, meskipun orang itu berposisi dizalimi.”
Santri kesayangan KH. Maimun Zubair ini menyampaikan sekarang ajaran komunisme, baik PKI itu berstatus dizalimi atau tidak, ajaranya tetap salah karena menolak Tuhan. Sekarang umat Islam itu imannya pas-pasan digiring untuk bersimpati atau berempati pada komunisme karena seakan mereka korban.
“Makanya Quran kalau bicara ajaran itu jelas “kaburat kalimatan takhruju min afwaahihim.” Yang disalahkan itu kalimatnya. Ajaran mana yang salah, yang salah ajarannya,” terangnya.
Gerakan
Di era demokrasi sekarang ini dan seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, sangat mudah belajar, mengakses, maupun mendapatkan pemahaman tentang ideologi komunisme. Sehingga siapa saja bisa belajar tentang komunisme itu sendiri.
Tidak dapat dipungkiri era zaman Soeharto atau orde baru, ada pelarangan buku-buku berhaluan kiri atau berideologi komunis dan marxis. Lain lagi dengan sekarang ini, sebebas-bebasnya mengkases dan terbuka lebar untuk belajar.
Meski menurut survei masyarakat tidak percaya kebangkitan PKI. Namun yang perlu menjadi titik pandang yakni bahwa ideologi komunis tetap ada. Begitu juga dengan ajaran komunisme, meski menurut pandangan Islam bahwa ajarannya salah.
Lantas apakah masyarakat imunnya sudah kuat mendapatkan beragam informasi komunisme. Sebagaimana masyarakat juga berdampingan manis dengan gerakan sekulerisme, kapitalisme, hedonisme hingga liberalisme.
Gerakan semacam itu sudah menjadi bagian dari lingkaran masyarakat. Bahkan bisa jadi tidak begitu mempersoalkan. Barangkali karena paham individualisme mengalir pada tubuh yang mengakar.
Masyarakat tidak sensitif mempersoalkan hal tersebut, meski ada gerakan-gerakan pelarangan dan perlawanan. Terkesan hanya sebagai gerakan dua kubu politik yang sekadar untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Semua menjadi formalisme, berdampingan di keseharian masyarakat. Paham-paham tersebut diterima dengan tangan terbuka. Tidak ada bedanya isme-isme yang merusak. Bahkan seperti tidak menjadi ancaman lagi. Di era disrupsi semacam ini semua bebas mempromosikan, mengajarkan dan bahkan mengancam.