BARISAN.CO – Semula saya rada janggal pada diri sendiri. Bahwa adakalanya saya begitu menggebu menjalankan salat tahajud. Kali lain, saya bersemangat menjalankan puasa Senin-Kamis. Kali lain lagi, saya senang mendalami konsep ego-nya Muhammad Iqbal. Begitu terus beralih dari amal ke amal, dari kecenderungan demi kecenderungan, dan serasa tiada ujung jelas.
Janggal, karena sebegitu mudah saya menjatuhkan kecondongan, yang acap kali tiada angin tiada apa, saya langsung senang menjalankannya. Janggal sekaligus acap ragu: benarkah yang saya jalankan ini.
Apalagi semenjak Kiai Muhammad Zuhri berpulang keharibaan-Nya, saya tidak mempunyai guru spiritual yang bisa saya rujuk. Beruntung kemudian, saya ikut halaqah kecil “Ngaji Hikam” yang diampu oleh Gus Sholahuddin. Sehingga, saya menjadi familiar sekaligus bergairah untuk mendalami hikmah demi hikmah Syekh Ibnu ‘Athaillah.
Perasaan janggal itu pun sedikit terjawab, bahwasanya Syekh Ibnu ‘Athaillah berkata, “Beragam jenis-jenis amal karena beraneka macamnya dinamika hati.”
Dinamika hati ini berupa asupan hati. Di mana asupan hati adalah makrifat Tuhan, dan rahasia rohani yang menyelusup ke dalam relung hati. Asupan hati ini yang menginspirasi perbuatan baik, laku mulia, ataupun amalan-amalan ibadah, seperti rajin salat, rajin puasa, dan sebagainya.
Dengan demikian, inti amal (ibadah) tidak terletak pada bentuk lahiriahnya semata. Karena sekali lagi amal perbuatan itu merupakan ekspresi dari keadaan hati. Hatilah yang menentukan gerak gerik jasmani. Hatilah yang menjadi inti kekuatan jasmani, sumber inspirasi sekaligus pengendali amal lahiriah.
Sehingga pula, tepat adanya jika Syekh Muhammad Said Ramadhan menuntun kita agar jangan sekali-kali gampang mengucapkan kritik atau perkataan yang tak pantas kepada seseorang yang seolah melenceng amal ibadahnya. Bisa jadi kondisi hati telah menuntunnya untuk melakukan amal ibadah tertentu, yang barangkali kita belum tahu rujukannya.
Terlebih kini, di tengah tradisi digital, di mana semua kita, dari latar belakang apa pun, berlaku sebagai produsen berita. Sehingga nyinyir kepada yang tidak cocok pun serasa biasa. Kita kerap membaca di beranda status, orang-orang berkomentar buruk terhadap orang-orang saleh, bahkan ulama, tanpa landasan pengetahuan dan pandangan hikmah sebagaimana yang disajikan Syekh Ibnu ‘Athaillah ini.
Kini kita pun biasa melihat orang-orang berkomentar miring terhadap yang berkondisi jauh dari suasana peribadahan dan kebiasan lazim kaum taat. Mereka yang “jauh” ini dicap dosa dan jauh dari Tuhan. Padahal belum tentu demikian. Tuhan punya kehendak dan skenario yang bebas dari harapan mayoritas penduduk bumi. Tuhan bisa saja mengutus orang-orang yang dicap rendah itu untuk menghardik kita yang merasa taat. Tuhan hendak menegur, bisa jadi perbuatan kaum yang berkondisi “jauh” itu lebih besar pengaruh dan manfaatnya di sisi Allah ketimbang ibadah-ibadah yang dijalankan oleh para ahli ibadah dan kaum juru dakwah.
Maka, hati-hatilah! Jangan sembarangan memvonis orang. Dan, mari kita baca selalu ucapan Syekh Ibnu ‘Athaillah, “Beragam jenis-jenis amal karena beraneka macamnya asupan hati.”