Scroll untuk baca artikel
Terkini

Tekanan Dunia Kampus: Kebebasan Akademik dan Intervensi Kekuasaan

Redaksi
×

Tekanan Dunia Kampus: Kebebasan Akademik dan Intervensi Kekuasaan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES, Herlambang Wiratraman mengatakan tekanan terhadap dunia intelektual atau dunia kampus telah ada sejak zaman kolonial Belanda di Indonesia. Di mana kampus diarahkan untuk juga mengembangkan usaha perminyakan dengan didanai oleh pemerintahan Kolonial. Resistensi penolakan tentu saja ada. Jadi, hal penekanan terhadap dunia kampus bukanlah barang baru.

“Tekanan-tekanan yang dialami oleh beberapa civitas akademika kampus saat ini baik kepada dosen dan juga mahasiswa adalah tekanan terhadap kebebasan akademik dan otonomi kampus,” sambungnya dalam diskusi online dengan tema Kebebasan Akademik dan Intervensi Kekuasaan yang diselenggarakan LP3ES, Selasa (31/8/2021)

Herlambang menyampaikan gugatan, pemidanaan, doxing, persekusi, terhadap tenaga pengajar kampus adalah juga bagian dari serangan yang dilakukan terhadap civitas akademika kampus.

“Di masa pandemi serangan tersebut tidak juga surut dan terjadi sejak tahun lalu. Kritik atas obat covid oleh Pandu Riono mendapat serangan peretasan terhadap media sosialnya. Begitu juga terhadap lembaga riset Cisdi yang mengolah dokumen, data dan pengetahuan publik juga mendapat serangan peretasan,” tuturnya

Menurut Herlambang , hal yang sama juga terjadi pada media massa. Sayangnya semua serangan tersebut seperti mendapatkan impunitas dan tidak mendapat penanganan hukum sebagaimana mestinya.

Sementara itu, Ketua YLBHI Asfinawati  menyampaikan kebebasan akademis pasti akan memerdekakan pikiran dan kebebasan pada umumnya. Termasuk kebebasan publik untuk mendapatkan informasi agar pikiran kita lebih merdeka.

“Tapi justru kemerdekaan itulah yang ditakuti oleh rezim-rezim otoriter. Menjadi catatan sejarah sejak era totaliter Nazi Jerman dan Hungaria sebagai contoh, begitu pemerintahan otoriter masuk, yang pertama dilakukan pasti adalah mengendalikan kebebasan akademik atau kebebasan kampus,” lanjutnya.

Asfinawati  mengatakan, narasi tuduhan-tuduhan kepada mahasiswa yang melakukan aksi kritik kepada pihak kampus ataupun kepada kekuasaan yang terjadi saat ini. Bahwa aksi mahasiswa ditunggangi dan sejenisnya, yang dilontarkan oleh pejabat-pejabat pemerintahan setingkat menteri kabinet, menariknya mirip dengan apa yang dilontarkan oleh pejabat-pejabat militer di era orde baru (Sudomo, dan lain-lain) yang menuduh gerakan kritik dan protes mahasiwa ditunggangi.

“Sayangnya, saat ini justru tuduhan kepada mahasiswa juga dilayangkan oleh seorang Menristek,” ujar Asfinawati.

Pelanggaran kebebasan akademik/berpendapat secara lebih jauh terjadi dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat intelijen seperti BIN kepada 3 kampus. Hal itu terjadi terkait akan dilaksanakannya diskusi yang diadakan oleh mahasiswa. Jelas, hal itu bukanlah fungsi dan tugas pejabat intelijen yang menurut UU Intelijen Negara hanya bertugas mengumpulkan informasi, bukannya eksekusi hingga menelepon kampus terkait pelaksanaan diskusi mahasiswa. Seharusnya intelijen hanya mengumpulkan informasi dan data, di mana data itu akan disampaikan kepada end user dalam hal ini presiden, di mana presiden akan memberikan pertimbangan.

Menurut Presiden BEM Universitas Indonesia, Leon Alvinda Putra represi terhadap kebebasan akademik dan kritik mahasiswa dirasakan meningkat dari otoritas kampus sejak era pandemi tahun 2020 lalu hingga sekarang.

“Seolah kampus merdeka diartikan oleh otoritas kampus adalah merdeka dalam melakukan represi kepada mahasiswa dan civitas akademika lainnya,” tegasnya

Leon menyayangkan padahal dalam Pasal 13 Kovenan Internasional Ekosob dinyatakan bahwa pendidikan harus diarahkan pada perkembangan kepribadian manusia seutuhnya dan kesadaran akan harga dirinya dan memperkuat akan penghormatan pada hak asasi manusia dan kebebasan manusia yang mendasar.