Scroll untuk baca artikel
Opini

Memori dan Refleksi Tsunami Aceh 2004

Redaksi
×

Memori dan Refleksi Tsunami Aceh 2004

Sebarkan artikel ini
Oleh: Yusdi Usman

Hari ini, 16 tahun lalu, kehidupan berjalan seperti biasa. Sebagian warga Kota Banda Aceh masih bersantai di rumah mereka. Sebagian lainnya memanfaatkan ruang publik untuk berolah raga. Lapangan Blang Padang (alun-alun) Kota Banda Aceh juga ramai dikunjungi warga, sekedar untuk menyegarkan badan di pagi hari.

Di ufuk timur, mentari menampakkan wajah muram. Warna merahnya agak berbeda dari biasanya. Mungkin ini pertanda bahwa sesuatu akan terjadi. Mungkin juga ini pertanda bahwa perubahan besar akan datang ke sini.

Tiba-tiba bumi bergerak, lalu bergoncang hebat. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Warga yang sedang asik berolah raga tiba-tiba rubuh di jalan. Tak ada yang bisa berdiri. Gerakan tanah yang begitu kuat membuat kepala pusing. Gempa itu berlangsung singkat. Lalu hening!

Tak berapa lama, terdengar gemuruh air di kejauhan. Suaranya menakutkan. Seperti suara pesawat terbang bercampur badai. Orang-orang berteriak: “air, air.. air laut naik”. Orang-orang juga mulai berlari menjauhi pinggir pantai. Namun kekuatan air yang begitu tinggi, tak sanggup ditandingi. Ia menghancurkan semuanya. Wilayah pemukiman di pinggir pantai umumnya hilang dan rata dengan tanah. Itulah tsunami.

Kekuatan air tsunami ini bahkan mampu memindahkan kapal apung PLN seberat 2.600 ton dari laut ke darat di tengah Kota Banda Aceh, sejauh 1 km dari pinggir pantai. Di dalam kota, air tsunami sudah pecah. Namun, banyak rekaman video yang masih bisa kita saksikan bagaimana air tsunami itu menerjang kota dengan ketinggian di atas 2 meter.

Itulah kejadian hari ini, 16 tahun lalu, tepatnya 26 Desember 2004. Gempa dan tsunami 2004 telah menelan korban mencapai 200 ribu orang. Bukan hanya di Aceh dan Nias, korban juga terjadi di sejumlah negara di Asia Tenggara dan Pasifik.

Batal Sekolah ke Luar Negeri

Tanggal 26 Desember 2004, saya masih di Jakarta. Saat itu, saya bekerja di sebuah organisasi masyarakat sipil sambil mempersiapkan proses seleksi beasiswa S2 ke luar negeri. Setelah reformasi 1998, tawaran beasiswa kepada anak-anak muda Indonesia sangat banyak, baik yang bersumber dari beasiswa negara-negara donor, lembaga-lembaga internasional, maupun beasiswa dari Pemerintah Indonesia. Apalagi, persyaratan beasiswa saat itu cenderung ringan dan mudah.

Saya baru menerima informasi tentang tsunami Aceh pada siang hari, 26 Desember 2004. Teman-teman kantor mengontak saya menanyakan kabar keluarga saya di Aceh. Saya baru bisa menghubungi keluarga di Aceh beberapa hari setelah tsunami. Hubungan komunikasi benar-benar putus selama beberapa hari karena kerusakan infrastruktur telekomunikasi. Hari kedua tsunami, MetroTV sudah mulai melakukan liputan dan menyiarkan berita tsunami di Aceh.

Beberapa hari setelah tsunami, jaringan organisasi masyarakat sipil dan berbagai pihak di Jabodetabek mulai melakukan gerakan penggalangan dana untuk korban tsunami. Saya dan teman-teman juga melakukan upaya ini. Bantuan yang terkumpul dalam berbagai bentuk (uang dan barang), kami kirim ke Aceh melalui jaringan relawan yang berangkat ke Aceh.

Saya sendiri, saat itu, masih mengikuti proses seleksi beasiswa S2 ke luar negeri. Namun, melihat antusiasme para relawan yang berangkat ke Aceh, saya dan sejumlah teman juga berangkat ke Aceh dan menjadi relawan. Kami melakukan banyak hal di sana: koordinasi, komunikasi, dan konsolidasi untuk membangun kembali Aceh pasca-tsunami.

Dengan dibantu pendanaan dari Tifa Foundation, saya dan teman-teman melakukan konsolidasi tokoh-tokoh Aceh dan melakukan lokakarya membangun kembali Aceh pada bulan Maret 2005 di kampus Universitas Syiah Kuala.