Barisan.co – Tujuan utama menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) adalah meringkas kinerja perekonomian dalam ukuran sederhana, yaitu uang. Namun jika hanya membandingkan PDB harga berlaku pada suatu tahun dengan tahun sebelumnya dapat menyamarkan kinerja dimaksud. Nilai PDB meningkat bukan hanya karena jumlah produksi, melainkan juga ada faktor kenaikan harga.
Para ahli ekonomi dan statistik mencoba meniadakan faktor kenaikan harga-harga, agar yang diperbandingkan hanya nilai tambah produksinya. Secara konseptual, BPS memakai indeks harga yang disebut PDB deflator.
PDB deflator sebenarnya serupa dengan pemakaian Indeks Harga Konsumen (IHK) sebagai ukuran inflasi. Sedikit berbeda, namun cenderung searah dinamikanya. PDB deflator bisa dikatakan sebagai inflasi yang dialami oleh produsen.
Nilai PDB sesuai harga pada tahun perhitungan disebut PDB atas dasar harga berlaku, sebesar 15.834 triliun rupiah pada tahun 2019. Sedangkan PDB yang sudah disesuaikan dengan faktor perubahan harga disebut PDB atas dasar harga konstan, hanya sebesar 10.949 triliun rupiah. Tahun dasar yang dipakai dalam perhitungan nilai harga konstan adalah tahun 2010.
Pada dasarnya bisa diambil sembarang tahun untuk menjadi kurun waktu dasar (base period) tertentu. Kemudian, nilai PDB pada tahun-tahun sesudahnya “disesuaikan” dengan “tingkat harga” pada tahun dasar tersebut. Seolah-olah, PDB tahun yang diamati dihitung menggunakan harga-harga yang terjadi pada tahun dasar yang ditetapkan tadi. Caranya dengan memakai PDB deflator tadi, yang diperoleh dengan teknik perhitungan statistika dan sumber data sesuai metode yang standar.
Tahun dasar umumnya diubah setiap 10 tahun sekali, dan yang dipakai saat ini adalah tahun 2010. Hal ini mengikuti anjuran Badan Statistik PBB agar setiap negara memakai tahun kelipatan 5. Perlu diketahui, Indonesia sebelumnya memakai tahun dasar 1993, 1983, 1973, dan 2000.
Nilai PDB harga konstan pada suatu tahun dibandingkan dengan tahun sebelumnya inilah yang kini dikenal sebagai angka pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2019 sebesar 5,03 persen merupakan perbandingan dengan nilai tahun sebelumnya. Artinya, bertambah sebesar itu jika nilai pada tahun 2019 (10.949 triliun rupiah) dibandingkan dengan tahun 2018 (10.425 triliun rupiah).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pernah dialami pada era 1970an sampai dengan pertengahan tahun 1990an. Secara rata-rata pada kurun tahun 1969-1997, tumbuh 6,7 persen per tahun. Sempat mencapai 8,76 persen pada tahun 1977 dan 9,88 persen pada tahun 1980. Namun mengalami pula tahun-tahun dengan pertumbuhan yang rendah, seperti tahun 1982 (2,25 persen) dan tahun 1985 (2,46 persen).
(Sumber data: Badan Pusat Statistik, World Bank)
Indonesia pernah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yang sangat drastis. Yaitu sebesar minus 13,3 persen pada tahun 1998 dan sebesar 0,79 pada tahun 1999. Saat itu disebut Indonesia mengalami krisis ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang bernilai minus, apalagi mencapai dua digit, artinya nilai tambah produksi barang dan jasa berkurang. Dapat dimaknai berkurangnya apa yang dapat dikonsumsi dan pendapatan yang diperoleh oleh masyarakat.
Meskipun pertumbuhan ekonomi perlahan naik pada tahun-tahun berikutnya, namun perlu sekitar 5 tahun untuk kembali pada tingkat produksi yang semula (1997). Jangan lupa, pertumbuhan ekonomi dihitung dari tahun ke tahun. Akibat kontraksi tahun 1998, maka nilai basis perhitungannya menjadi sangat rendah, dan sedikit kenaikan akan tercatat menjadi pertumbuhan. []