Scroll untuk baca artikel
Opini

Menggagas Humanisme dalam Pendidikan Abad Ke-21

Redaksi
×

Menggagas Humanisme dalam Pendidikan Abad Ke-21

Sebarkan artikel ini

Konsep humanisme pendidikan, pembelajaran yang cukup efektif hal ini karena tujuan kurikulum secara nasional kurang terintegrasi secara maksimal.

MESKI bukan sebagai sebuah kendala teknis dalam proses pembelajaran peserta didik dengan cara daring atau online selama ini, tetapi perlu dipikirkan dampak dari sistem ini yang berjalan cukup lama. Interaksi sosial sesama peserta didik memang tidak dapat dilakukan secara optimal, karena keterbatasan ruang lingkup edukasi pendidikan yang masih harus sesuai dengan standar pendidikan di masa pandemi.

Pemerintah harus betul-betul memastikan, bahwa sebelum dilaksanakan sistem pembelajaran tatap muka secara menyeluruh, apakah kondisi kesehatan mental siswa siap untuk kembali belajar tatap muka? Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa kondisi dalam masyarakat yang juga berimbas terhadap kemampuan siswa secara psikologis. Bagaimana keterbatasan lingkungan menjadi minimnya interaksi sosial para siswa.

Membangun skema pola desain edukasi pembelajaran di lingkungan sekolah (formal) dan di lingkungan rumah (non-formal), tentu tidak sekedar adanya pencapaian komunikasi guru dan siswa. Ini harus disadari, bahwa konsep pembelajaran jarak jauh sangat tidak boleh disepelekan peran orang tua murid yang begitu besar.

Permasalahan yang kurang dipikirkan adalah bagaimana konsep ini memiliki nilai ukur yang jelas. Jadi bukan hanya formalitas belaka, yang memperlihatkan bahwa proses belajar-mengajar berlangsung tanpa dampak psikologis.

 Kita harus jujur, selama pembelajaran jarak jauh, peran seorang ibu sangat dominan dalam mendampingi putra-putrinya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah.

Artinya, seorang ibu tidak memperhitungkan pengorbanan dirinya demi keberhasilan anak. Ini sudah menjadi sebuah naluriah seorang ibu. Dan jika kita tarik garis lurus, ini memunculkan betapa pentingnya peran kaum perempuan dalam mencapai tujuan pendidikan secara nasional.

Sangatlah penting, dalam rangka mewujudkan sistem pendidikan nasional tidak hanya semata-mata membangun konsep desain “merdeka belajar” sebagai solusi kurikulum nasional dalam sistem pembelajaran.

Tetapi membangun perspektif pendidikan harus didasari oleh nilai-nilai yang tidak terlepas dalam penggunaan peran literasi dan bahasa. Kita kadang terlena oleh istilah atau patron pendidikan, yang akhirnya sering hanya menjadi retorika tanpa hasil.

Pada masa silam, mungkin kaum perempuan terkungkung oleh kebebasan akibat egaliter (persamaan) kekuasaan yang begitu ortodoks (pandangan kolot). Persamaan hak dan kewajiban sebagaimana termaktub dalam UUD Tahun 1945, pasal 27 sampai pasal 34, yang merupakan implementasi bahwa kedudukan dalam pembangunan kerangka bangsa menjadi landasan kuat untuk memajukan pendidikan nasional. Tetapi bagaimana pentingnya peran ibu, sehingga penggunaan bahasa dasar disebut juga bahasa ibu.

Artinya, tanpa peran perempuan untuk mempersiapkan generasi penerus, akan menjadi timpang dan kurang terpadu. Konsep pendekatan keluarga dan humanisme (kemanusiaan), menjadi sistem edukasi pembelajaran yang cukup efektif.

Hanya saja kelemahannya, konsep tujuan kurikulum secara nasional kurang terintegrasi secara maksimal, dimana peserta didik juga membutuhkan sosialisasi lingkungan formal dengan pola tatap muka langsung.

Bagaimana peran perempuan yang begitu terbatas, menjadi penggerak yang setara dalam pendidikan maju, adalah momentum kebangkitan pendidikan di masa lampau.

Saat orang terperangkap dalam pemikiran dan budaya paternalistis (sistem kepemimpinan), seorang pejuang seperti Kartini hadir dan mengikis ego dan sentralitas kaum laki-laki. Ini mungkin dinamikanya sudah beda, dengan tantangan masa kini yang lebih kompleks, tetapi menjaga nilai-nilai bahasa ibu juga bisa dikatakan berbanding lurus dengan menjaga ekosistem budaya.