Scroll untuk baca artikel
Terkini

Namanya Suzy Eshkuntana, Ia Masih Anak & Perang Merenggut Kehidupannya

Redaksi
×

Namanya Suzy Eshkuntana, Ia Masih Anak & Perang Merenggut Kehidupannya

Sebarkan artikel ini

Psikolog secara rutin memeriksa keadaan Suzy untuk mengobati trauma yang dialami. Pada sesi terapi seni, Suzy dan sepupunya melukis nama mereka di atas kertas. Di samping namanya, Suzy menggores dua gambar hati besar berwara merah.

DALAM SEBUAH JURNAL yang diterbitkan oleh Croatian Medical Journal, dampak perang setiap tahun membuat anak-anak meninggal, cidera, menjadi disabilitas, mengidap penyakit, menjadi korban pemerkosaan dan prostitusi demi bertahan hidup, mengalami penderitaan psikologis, kerugian sosial dan budaya, menjadi tentara anak, dan moral serta spiritualnya terganggu.

Suzy menjadi korban yang selamat, namun ia mengalami penderitaan psikologi atas situasi teror yang terjadi. Pengalaman traumatis yang ia alami kemungkinan akan tertanam dalam memorinya sangat lama dan membuatnya mengalami stres pascatrauma.

Kehilangan yang Suzy alami menyebabkan tingginya tingkat depresi dan kecemasan. Dampak penderitaan psikologis ini juga dapat diperparah oleh paparan kekerasan yang lebih lanjut jika konflik kembali terjadi di masa mendatang.

Perwakilan khusus UNICEF di Palestina, Lucia Elmi mengatakan jauh sebelum perang meletup di bulan Mei, satu dari tiga anak di Palestina memerlukan dukungan psiko-sosial. Sedangkan psikiater di Gaza yang mengkhususkan diri pada remaja, Sami Owaida menyampaikan depresi dan rasa tidak aman merupakan masalah psikologi yang paling umum di antara anak-anak Gaza.

Sami menambahkan akibat trauma yang dialami, banyak anak-anak di Gaza mengompol, gagap, mimpi buruk, dan menolak makan. Menurut Sami, pertanyaan yang diajukan oleh anak-anak saat ini ialah kapan perang berikutnya, apa yang akan dilakukan, dan ke mana mereka akan pergi.

Setiap 4 Juni diperingati sebagai Hari Anak Korban Perang, namun masih banyak anak yang menjadi korban atas perang yang terjadi di belahan dunia. Anak-anak korban perang yang selamat hidup dalam ketakutan akan perang yang bisa saja terjadi kapan saja.

Di bawah ketakutan, mereka sering disergap putus asa terutama bagi mereka yang mengalami kehilangan atas orang-orang yang mereka cintai. Pendampingan amat dibutuhkan.

Perang seharusnya tidak boleh lagi terjadi. Terlebih, sudah begitu banyak korban yang berjatuhan. Hidup dengan damai berdampingan mestinya menjadi prioritas bagi wilayah konflik agar warga sipil terutama anak-anak memiliki kekuatan untuk menyongsong masa depan yang cerah tanpa kekerasan yang ditimbulkan baik bagi psikologis maupun fisik mereka. [dmr]